Senin, 12 April 2010

Surat Penundaan Laporan EPSBED

Nomor : 0855/D2.5/2010 Jakarta,5 April 2010

Lamp :

Hal : Pemberitahuan





Kepada Yang Terhormat,

1. Rektor Perguruan Tinggi Negeri

2. Koordinator Kopertis Wilayah





Dengan hormat,

Diberitahukan bahwa sesuai dengan program komputerisasi sistem layanan di DIKTI, penyerahan laporan EPSBED mulai semester gasal tahun 2009/2010 dilakukan melalui laman http://evaluasi.dikti.go.id. Penggunaan laman baru sesuai dengan sosialisi program kepada operator PTN dan Kopertis Wilayah I – XII di Jakarta (24-25 Maret 2010), diberlakukan sejak tanggal 1 April 2010.

Namun, sampai saat ini proses migrasi data dan fasilitas pada laman baru masih memerlukan sinkronisasi. Sehubungan dengan hal itu, mohon disampaikan kepada seluruh pimpinan Perguruan Tinggi Swasta di llingkungan Kopertis Wilayah I – XII atau pimpinan Fakultas/Program studi di lingkungan PTN hal-hal sebagai berikut:

1. Penyerahan laporan EPSBED untuk semester ganjil tahun 2009/2010 yang seharusnya dilakukan pada April 2010 ditunda sampai dengan paling lambat akhir Juli 2010.

2. Perangkat lunak lama yang berstatus kadaluarsa sejak tanggal 27 Maret 2010 tidak digunakan lagi dalam sistem pelaporan EPSBED. Sebagai gantinya, DIKTI sudah menyiapkan perangkat lunak baru dengan spesifikasi struktur data lama yang dalam waktu dekat akan disampaikan kepada setiap perguruan tinggi.


3. Perguruan tinggi yang pada saat ini telah menyelesaikan laporan EPSBED semester ganjil 2009/2010 menggunakan perangkat lunak lama dapat melaporkan datanya melalui laman baru yang tersebut di atas.

4. Bagi perguruan tinggi yang belum lengkap melaporkan data EPSBED pada semester sebelumnya, khususnya dalam rangka pemenuhan kelengkapan perpanjangan ijin, laporan EPSBED dapat dilakukan melalui format *comma separated value* (csv). Petunjuk pembuatan laporan EPSBED dengan data csv dapat didownload di laman baru.

5. Sehubungan dengan diresmikannya penggunaan laman baru dengan alamat http://evaluasi.dikti.go.id. sejak 1 April 2010 untuk fungsi komunikasi dan informasi EPSBED, maka:

a. laman lama dengan alamat http://www.evaluasi.or.id dinyatakan ditutup
dan semua informasi yang terdapat di laman tersebut di luar tanggung jawab DKTI.

b. semua kegiatan proses bisnis yang terkait dengan penggunaan data EPSBED
yang meliputi perpanjangan ijin, perubahan data dosen/mahasiswa/institusi, dan pengajuan NIDN baru dilakukan melalui laman baru.

6. Mengingat laman lama telah diakses oleh masyarakat secara luas, mohon fungsi, fitur, dan isi laman baru dapat disosialisasikan kepada masyarakat secara benar.

Demikianlah surat ini disampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu/Saudara disampaikan terima kasih.




Direktur,



TTD



Illah Sailah

NIP. 195805211982112001

Tembusan

1. Dirjen Dikti

2. Kepala Balitbang

3. Ketua BSNP

4. Ketua BAN-PT

5. Sekretaris Dirjrn Dikti

6. Direktur di lingkungan Ditjen Dikti

-----------------------------------------------------------------------------
Sumber : evaluasi-ps-dikti@yahoogroups.com

Selasa, 23 Desember 2008

Mahasiswa Protes karena Belum Tahu Versi Terakhir UU BHP

YOGYAKARTA--MI: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyatakan
banyaknya protes dari masyarakat utamanya mahasiswa mengenai Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (UUBHP) disebabkan ketidaktahuan mereka mengenai versi terakhir UU
tersebut yang disahkan oleh DPR.

"Saya duga, banyak yang belum tahu mengenai versi terakhir UU yang disahkan, tetapi
saya tidak akan mempermasalahkan itu terkait banyaknya protes mahasiswa," katanya
usai menghadiri seminar Serat Centhini di Yogyakarta, Senin (22/12).

Menurut dia, mahasiswa belum tahu versi yang disahkan, tetapi sudah terlanjur
unjukrasa. "Selain itu, UU BHP yang disahkan DPR pada 17 Desember lalu tidak benar
jika disebut melegalisasi komersialisasi pendidikan seperti yang dikhawatirkan
selama ini," katanya.

Dalam UU BHP, kata dia, telah dituliskan aturan yang pasti mengenai bentuk suatu
institusi pendidikan, yaitu nirlaba, sehingga jika ada kelebihan sisa hasil usaha
(SHU), maka kelebihan tersebut kembali ke institusi pendidikan untuk meningkatkan
mutu atau kapasitas pelayanan pendidikan.

"Sedangkan siapa yang memperkaya diri sendiri akan dikenai hukuman pidana lima tahun
dan denda Rp500 juta. Begitu juga dengan pungutan maksimal yang dapat dikenakan
kepada mahasiswa diatur secara jelas, utamanya untuk yang negeri," katanya.

Terkait lamanya waktu pembahasan RUU BHP, kata menteri, tujuannya untuk
mengakomodasi semua suara masyarakat dan mahasiswa agar tercakup dalam UU BHP
tersebut.

Menyinggung keinginan untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi
(MK), kata menteri, menjadi satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengetahui apakah
UU BHP tersebut merugikan masyarakat atau tidak.

"Saya tidak akan menghalang-halangi, karena semua UU bisa di judicial review kecuali
UUD, silakan ajukan ke MK," katanya. (Ant/OL-02)


sumber :http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTIwNDQ=

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Pendidikan tak Boleh Dikomersialkan

JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh menilai, tak perlu ada
kekhawatiran berlebihan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tuduhan
bahwa UU itu melegalkan komersialisasi pendidikan, dinilainya, tak beralasan.''Apa
betul begitu? Mangga, dibaca dengan baik di versi yang terakhir, yang disahkan DPR
pada 17 Desember 2008,'' kata Nuh kepada Republika, Ahad (21/12).

Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini mengatakan,
definisi komersialisasi adalah menangguk keuntungan dan hasilnya dikembalikan kepada
pemilik modal. ''Di UU BHP, jelas ditegaskan bahwa satuan pendidikan itu nirlaba,
bukan profit oriented,'' katanya.

Kalaupun BHP itu memperoleh pendapatan besar dan cepat, Nuh mengatakan, dana
tersebut bukan dibagi, tapi untuk investasi peningkatan kualitas pendidikan.
''Komersialisasi pendidikan memang tidak boleh.''Pemerintah, kata Nuh, tak lepas
tangan dalam membiayai pendidikan. Sebab, 20 persen APBN dan APBD sudah dialokasikan
untuk pendidikan. Pendidikan dasar sembilan tahun pun sudah digratiskan. Tapi, untuk
pendidikan menengah dan tinggi, pemerintah tak mungkin menanggung seluruhnya,
sementara kemampuan perguruan tinggi juga terbatas.

Alhasil, kata Nuh, untuk pendidikan menengah dan tinggi, ''Biaya harus ditanggung
bersama. Ada sharing. Tapi, tidak pukul rata. Tidak adil kalau kaya miskin pukul
rata. Pemerintah tidak lepas tangan, masyarakat tak boleh andalkan gratisan, dan
perguruan tinggi dituntut lebih cerdas mengelola resources.''

Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP menuai penolakan, antara lain, karena
membebankan sepertiga biaya operasional pendidikan (BOP) di perguruan tinggi kepada
mahasiswa. Rektor ITS, Priyo Suprobo, menyatakan, ITS tak siap menerapkan UU BHP.
Sebabnya, bila sepertiga BOP dibebankan kepada mahasiswa, biaya kuliah akan mahal.

Sebagai perbandingan, Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Somantri,
menyatakan, BOP UI adalah Rp 1,5 triliun per tahun. Dengan demikian, sepertiganya
adalah Rp 500 miliar. Bila jumlah mahasiswa UI adalah 10 ribu orang, rata-rata
setiap mahasiswa UI harus menanggung Rp 50 juta per tahun.Sementara itu, Ketua Umum
Ikatan Sarjana Pendidikan, Sudijarto, mengatakan, Pasal 31 UUD 1945 telah mengadopsi
sistem yang dianut di negara-negara sejahtera, seperti Eropa dan Amerika. Yaitu,
pendidikan dibiayai pemerintah.

Memang, kata Sudijarto, hanya Jerman dan negara Skandinavia yang sekarang masih
menggratiskan biaya pendidikan. Adapun AS dan Inggris yang dulu gratis, sekarang
juga memungut biaya dari mahasiswa. ''Tapi, di Amerika, hanya 14 persen biaya
universitas negeri yang ditanggung mahasiswa, sedangkan universitas swasta 40
persen,'' sebut dia. Itu pun besaran biaya pendidikan ditentukan oleh parlemen dan
bukan oleh universitas masing-masing. ann


sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21867.html

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Tepat, Uji Materiil UU BHP

BANDUNG, (PR).-
Uji materiil atau judicial review merupakan langkah hukum yang tepat untuk
menyelesaikan pro-kontra Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru
saja diundangkan. Permohonan uji materiil dapat diajukan oleh perseorangan ataupun
institusi, sebab secara yuridis keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama kuat.

Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bandung I Gde
Pantja Astawa kepada "PR", Minggu (21/12). "Melalui judicial review itu akan dikaji
apakah substansi UU BHP tersebut ada yang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak,"
katanya.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), kata Pantja, pemohon
pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh undang-undang. Pihak itu berupa perseorangan, kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang sesuai dengan prinsip negara, badan hukum publik atau privat,
dan lembaga negara.

Uji materiil bisa diajukan pada beberapa pasal yang dirasa memberatkan saja atau
juga seluruh UU BHP. Jika uji materiil diajukan untuk keseluruhan, MK akan meninjau
apakah sebaiknya UU tersebut tetap diundangkan atau dibatalkan. MK nantinya akan
melibatkan para pakar untuk memberikan tinjauan.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana yang dihubungi terpisah, sependapat
dilakukannya uji materiil pada UU BHP pada pasal-pasal yang dianggap merugikan.
Selain itu, pemerintah dirasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
menjabarkan lebih detail UU BHP. Langkah itu dirasa mampu mereduksi kekhawatiran
masyarakat setelah diundangkannya RUU BHP.

Uu mengatakan, melalui UU BHP pemerintah bermaksud mengatur keterlibatan rakyat
dalam penyelenggaraan pendidikan. "Pemerintah membuat undang-undang itu niatnya
baik, untuk kepentingan bangsa. Tapi, mungkin pemerintah lupa, ketika lembaga
pendidikan juga memungut uang, kontrol pemerintah jadi tidak seratus persen,"
ujarnya.

Pendidikan gratis

UU BHP masih membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip pendidikan gratis yang dijanjikan selama ini.

"Pendidikan gratis harus jalan terus," ujar Uu. Ia mengatakan, pemerintah harus
terus memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah, utamanya pendidikan dasar.
Bagaimanapun, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja.

Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Suprianto mengatakan, UU BHP membuka peluang bagi
instansi pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan dunia usaha. Tidak semua biaya
operasional ditanggung sendiri. Ia mengatakan, banyak penyesuaian yang harus
dilakukan pada masa yang akan datang seiring dengan rencana pemerintah
menyelenggarakan pendidikan gratis.

"Yang jelas, sampai 2009, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-red.) harus tetap
berjalan," katanya. Pemprov Jabar telah menganggarkan sekitar Rp 600 miliar untuk
menambah dana BOS dari pusat.

Nur berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya UU BHP ini.
Masyarakat dari kalangan menengah ke bawah tidak akan kehilangan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi tetap harus memberikan
banyak alternatif untuk bisa menempuh pendidikan di sana.

Kontraproduktif

Dari Yogyakarta dilaporkan, Forum Rektor menilai UU BHP, secara substansial,
menunjukkan sebagai ketentuan yang kontraproduktif. Alasannya, pengaturan proporsi
biaya operasional pendidikan sebesar 75% atau 2/3 ditanggung masyarakat, sisanya 25%
atau 1/4 bagian saja menjadi tanggungan pemerintah, seolah mengubah komitmen negara
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBN.

"Dengan demikian, langkah tepat yang telah diambil pemerintah memenuhi ketentuan UUD
untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% akan dipertanyakan oleh
masyarakat," kata Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec di Yogyakarta,
Minggu (21/12). Pernyataan bersama secara tertulis ini didukung sejumlah nama
pengurus Forum Rektor lainnya, Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Prof. Ir. Eko
Budihardjo, M.Sc, Prof. Dr. Thoby Mutis, Dr. Chairil Effendi, M.S.

Penekanan pendidikan perguruan tinggi yang berbasis pada kemandirian dan dibiayai
oleh masyarakat sendiri, menurut Forum Rektor menumbuhkan kesan, di masyarakat lokal
maupun internasional, "Indonesia telah mengubah orientasi pendidikan menjadi layanan
publik yang diperdagangkan," kata Edy yang sehari-hari menjabat Rektor Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Negeri - Swasta

Sementara itu, pelaksanaan UU BHP masih dirasa belum jelas, terutama bagi sekolah
swasta. "Saya merasa keberatan dengan UU BHP ini. Seharusnya, lebih diperjelas lagi
kriteria lembaga pendidikannya. Seluruh dana kami berasal dari siswa (orang tua)
karena merupakan sekolah swasta. Apakah akan disamaratakan dengan sekolah negeri?"
kata Dede Suhartati, Kepala SD Yayasan Wanita Kereta Api (YWKA) Bandung.

Menurut dia, UU BHP memiliki dampak berbeda bagi sekolah negeri dan swasta. Mungkin
bagi sekolah negeri, ucap dia, UU ini akan meringankan beban sekolah karena ada
aturan yang jelas mengenai batasan penarikan dana dari orang tua. "Tapi tidak bagi
sekolah swasta," katanya.

Kepala SMAN 20 Bandung Toni Sutisna memandang UU BHP ini berperan sebagai regulator.
Isinya untuk mengatur dan membatasi tindakan penarikan dana partisipasi masyarakat
untuk sekolah.

Sementara itu, beberapa orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
ataupun swasta, masih merasa belum dibebani ataupun diringankan oleh UU ini.
(A-84/A-170/A-176)***


sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=49335

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Prof. Said, "Itu Bisa Direvisi"

SETIABUDHI,(GM)-
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah disahkan DPR bisa direvisi
apabila banyak masukan dari masyarakat dan lembaga pendidikan. "Saya kira UU BHP
bisa direvisi apabila hasil kajian-kajian tersebut sangat relevan dengan kondisi
pendidikan saat ini," ujar pengamat dan pakar pendidikan, Prof. Dr. Said Hamid Hasan
yang dihubungi "GM" di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kamis
(18/12).

Hasil revisi UU BHP inilah, kata Said, yang merupakan masukan dari masyarakat
pendidikan dan lembaga pendidikan, yang bisa digunakan. Sehingga pada pelaksanannya
atau ketika UU BHP ini dilaksanakan, tidak ada satu pun masyarakat yang dirugikan.
"Pemerintah membuat UU BHP ini bukan untuk merugikan masyarakat, namun sebaliknya,"
ujarnya.

Oleh karena itu, katanya, UU BHP tersebut tidak serta merta bisa dieksekusi di
lapangan begitu saja setelah disahkan. "Namun perlu disosialisasikan antara satu
sampai dua tahun di lapangan untuk mendapat masukan," tambahnya.

Tujuan BHP sendiri, katanya, sebagai jaminan pemerintah kepada masyarakat tentang
pendidikan. Selama ini, banyak lembaga pendidikan yang berdiri, namun ada sebagian
yang tidak berbadan hukum dan lebih berorientasi pada pungutan.

Namun, lanjutnya, ada sejumlah permasalahan dengan disahkannya UU BHP ini, salah
satunya, apakah lembaga pendidikan didirikan oleh perorangan (orang kaya) perlu
berbadan hukum. Pasalnya, katanya, lembaga pendidikan swasta kebanyakan didirikan
yayasan atau lembaga. "Hal inilah yang perlu dikaji lebih jauh oleh para pakar
pendidikan dan pembuat UU BHP," ujarnya.

Dorong kompetisi

Sementara itu, praktisi pendidikan, Dr. Muchlis R. Luddin, M.A. mengatakan, UU BHP
bisa mendorong kompetensi dan mengubah perilaku. Universitas atau perguruan tinggi
bisa leluasa mengelola sendiri administrasi, masalah akademik, dan keuangan.
Konsekuensinya, masyarakat harus bertanggung jawab dalam hal pendanaan.
(B.81/B.95)**


sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140706&idkolom=opinipendidikan

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

UU BHP Menyulitkan PTS

SETIABUDHI,(GM)-
Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bakal mengakibatkan
pengembangan perguruan tinggi swasta (PTS) semakin berat. Pasalnya, UU BHP sama
sekali tidak mencantumkan sumber pembiayaan pendidikan dari pemerintah yang
dialokasikan untuk pengembangan PTS.

Pernyataan itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) Wilayah IV Jawa Barat-Banten, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. kepada
wartawan, seusai menghadiri kuliah umum "Prospek Ekonomi dan Politik Indonesia Tahun
2009 oleh Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti", di Auditorium Universitas Pasundan
(Unpas), Jln. Dr. Setiabudhi Bandung, Kamis (18/12). Pernyataan itu diungkapkan Didi
Turmudzi untuk menyikapi disahkannya rancangan UU BHP menjadi UU oleh DPR RI di
Jakarta, Rabu (17/12).

"Berbeda dengan perguruan tinggi negeri (PTN), sumber pembiayaan pendidikan yang
berasal dari pemerintah untuk PTS tidak disebutkan UU itu. Kondisi itu akan semakin
menyulitkan PTS. Pada situasi demikian, PTS harus berupaya agar bisa melanjutkan
kelangsungan hidupnya," katanya.

Menurut Rektor Unpas itu, ketimpangan perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap
PTN dan PTS, juga terlihat secara jelas dalam pembukaan program studi (prodi) baru.
Salah satu isi dari UU itu, katanya, menyebutkan bahwa untuk membuka sebuah prodi di
PTN, tidak perlu melalui prosedur pengajuan izin ke Direktorat Jenderal (Ditjen)
Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun,
katanya, hal sebaliknya diberlakukan untuk PTS. "Pembukaan sebuah prodi di PTS harus
melalui rangkaian prosedur pengajuan izin ke Ditjen Dikti Depdiknas. Berdasarkan
kenyataan itu, kami mempertanyakan, mengapa perbedaan perlakuan seperti itu mesti
terjadi?" katanya.

Mekanisme pasar

Selanjutnya Didi mengatakan, menyusul disahkannya UU BHP, dalam pengembangan
perguruan tinggi (PT) akan muncul sistem mekanisme pasar. PT yang memiliki sumber
pembiayaan yang besar dan kuat, akan tetap bertahan. Namun bagi PT yang lemah dan
memiliki sumber pembiayaan pendidikan yang minim, kemungkinan untuk terus
melanjutkan proses pendidikan masih dipertanyakan. "Kekhawatiran itu akan
bermunculan di kalangan pengelola pendidikan di lapangan. Mereka semakin cemas dalam
menghadapi kebijakan pengembangan pendidikan yang muncul akhir-akhir ini," ujar
Ketua Forum Rektor Provinsi Jawa Barat itu. (B.80)**


sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140626&idkolom=opinipendidikan

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Uji Materi Bakal Diajukan

Jakarta, Kompas - Keberatan dengan pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,
sejumlah elemen pendidikan bersiap mengajukan permohonan uji materi undang-undang
atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Isi perundang-undangan tersebut dinilai
tidak cocok dengan situasi Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah memacu
kualitas sumber daya manusianya agar dapat bangkit dari keterpurukan. Masyarakat
kehilangan harapan akan pendidikan murah dan mudah diakses setelah disahkannya
perundang-undangan tersebut.

”Kami bersama elemen lain yang mempunyai keinginan sama, seperti kelompok
mahasiswa, guru, dan institusi pendidikan, akan mengadakan pertemuan pada Senin
(22/12) untuk membahas judicial review,” ujar Manajer Monitoring Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, Minggu. Dalam pertemuan itu, mereka akan
mengevaluasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang
ingin diuji. Pilihan lainnya adalah menguji Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan pembentukan BHP.

”UU BHP itu cocoknya di negara maju. Ini mirip dengan kebijakan manajemen berbasis
sekolah yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Kenyataannya, manajemen berbasis
sekolah strukturnya sulit diimplementasikan,” ujarnya.

Pengamat pendidikan sekaligus pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta,
Darmaningtyas, menambahkan, Taman Siswa termasuk yang ingin mengajukan pengujian UU
BHP. Undang-undang tersebut, menurutnya, menjadi titik pangkal pembentukan korporasi
pendidikan.

Darmaningtyas melihat, pemerintah memilih jalan privatisasi pendidikan. Hal itu
terlihat dari tata kelola, pengurusan kekayaan, dan pendanaan di bidang pendidikan
yang tertuang dalam UU BHP. Semakin lama. bisa jadi komposisi pendanaan oleh
pemerintah akan semakin kecil dibandingkan dengan pembiayaan oleh masyarakat.

”Di atas kertas saja seakan tidak ada masalah, termasuk soal perguruan tinggi
berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Kenyataannya, uang kuliah di PT BHMN
tambah mahal,” ujarnya.

Dengan jumlah institusi pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga
perguruan tinggi yang sangat banyak, pemerintah akan kesulitan mengontrol sejauh
mana komposisi pungutan yang dicantumkan dalam perundang-undangan dipatuhi. ”Tujuh
BHMN saja pemerintah kesulitan mengontrolnya” ujarnya.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia Thomas Suyatno mengatakan, belum ada rencana untuk mengajukan pengujian UU
BHP. ”Kami akan mengadakan rapat evaluasi untuk melihat berbagai komplikasi yang
ada dari UU BHP,” ujarnya.

Prinsip-prinsip yang akan tetap dijaga adalah tetap adanya eksistensi yayasan untuk
menyelenggarakan pendidikan secara langsung, tetap hidupnya kemajemukan, tidak ada
diskriminasi institusi pendidikan negeri dan swasta, serta hak yayasan tetap
dihargai. (INE)


sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/00455090/uji.materi.bakal.diajukan
Senin, 22 Desember 2008 | 00:45 WIB

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.