BANDUNG, (PR).-
Uji materiil atau judicial review merupakan langkah hukum yang tepat untuk
menyelesaikan pro-kontra Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru
saja diundangkan. Permohonan uji materiil dapat diajukan oleh perseorangan ataupun
institusi, sebab secara yuridis keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama kuat.
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bandung I Gde
Pantja Astawa kepada "PR", Minggu (21/12). "Melalui judicial review itu akan dikaji
apakah substansi UU BHP tersebut ada yang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak,"
katanya.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), kata Pantja, pemohon
pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh undang-undang. Pihak itu berupa perseorangan, kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang sesuai dengan prinsip negara, badan hukum publik atau privat,
dan lembaga negara.
Uji materiil bisa diajukan pada beberapa pasal yang dirasa memberatkan saja atau
juga seluruh UU BHP. Jika uji materiil diajukan untuk keseluruhan, MK akan meninjau
apakah sebaiknya UU tersebut tetap diundangkan atau dibatalkan. MK nantinya akan
melibatkan para pakar untuk memberikan tinjauan.
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana yang dihubungi terpisah, sependapat
dilakukannya uji materiil pada UU BHP pada pasal-pasal yang dianggap merugikan.
Selain itu, pemerintah dirasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
menjabarkan lebih detail UU BHP. Langkah itu dirasa mampu mereduksi kekhawatiran
masyarakat setelah diundangkannya RUU BHP.
Uu mengatakan, melalui UU BHP pemerintah bermaksud mengatur keterlibatan rakyat
dalam penyelenggaraan pendidikan. "Pemerintah membuat undang-undang itu niatnya
baik, untuk kepentingan bangsa. Tapi, mungkin pemerintah lupa, ketika lembaga
pendidikan juga memungut uang, kontrol pemerintah jadi tidak seratus persen,"
ujarnya.
Pendidikan gratis
UU BHP masih membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip pendidikan gratis yang dijanjikan selama ini.
"Pendidikan gratis harus jalan terus," ujar Uu. Ia mengatakan, pemerintah harus
terus memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah, utamanya pendidikan dasar.
Bagaimanapun, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja.
Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Suprianto mengatakan, UU BHP membuka peluang bagi
instansi pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan dunia usaha. Tidak semua biaya
operasional ditanggung sendiri. Ia mengatakan, banyak penyesuaian yang harus
dilakukan pada masa yang akan datang seiring dengan rencana pemerintah
menyelenggarakan pendidikan gratis.
"Yang jelas, sampai 2009, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-red.) harus tetap
berjalan," katanya. Pemprov Jabar telah menganggarkan sekitar Rp 600 miliar untuk
menambah dana BOS dari pusat.
Nur berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya UU BHP ini.
Masyarakat dari kalangan menengah ke bawah tidak akan kehilangan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi tetap harus memberikan
banyak alternatif untuk bisa menempuh pendidikan di sana.
Kontraproduktif
Dari Yogyakarta dilaporkan, Forum Rektor menilai UU BHP, secara substansial,
menunjukkan sebagai ketentuan yang kontraproduktif. Alasannya, pengaturan proporsi
biaya operasional pendidikan sebesar 75% atau 2/3 ditanggung masyarakat, sisanya 25%
atau 1/4 bagian saja menjadi tanggungan pemerintah, seolah mengubah komitmen negara
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBN.
"Dengan demikian, langkah tepat yang telah diambil pemerintah memenuhi ketentuan UUD
untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% akan dipertanyakan oleh
masyarakat," kata Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec di Yogyakarta,
Minggu (21/12). Pernyataan bersama secara tertulis ini didukung sejumlah nama
pengurus Forum Rektor lainnya, Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Prof. Ir. Eko
Budihardjo, M.Sc, Prof. Dr. Thoby Mutis, Dr. Chairil Effendi, M.S.
Penekanan pendidikan perguruan tinggi yang berbasis pada kemandirian dan dibiayai
oleh masyarakat sendiri, menurut Forum Rektor menumbuhkan kesan, di masyarakat lokal
maupun internasional, "Indonesia telah mengubah orientasi pendidikan menjadi layanan
publik yang diperdagangkan," kata Edy yang sehari-hari menjabat Rektor Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Negeri - Swasta
Sementara itu, pelaksanaan UU BHP masih dirasa belum jelas, terutama bagi sekolah
swasta. "Saya merasa keberatan dengan UU BHP ini. Seharusnya, lebih diperjelas lagi
kriteria lembaga pendidikannya. Seluruh dana kami berasal dari siswa (orang tua)
karena merupakan sekolah swasta. Apakah akan disamaratakan dengan sekolah negeri?"
kata Dede Suhartati, Kepala SD Yayasan Wanita Kereta Api (YWKA) Bandung.
Menurut dia, UU BHP memiliki dampak berbeda bagi sekolah negeri dan swasta. Mungkin
bagi sekolah negeri, ucap dia, UU ini akan meringankan beban sekolah karena ada
aturan yang jelas mengenai batasan penarikan dana dari orang tua. "Tapi tidak bagi
sekolah swasta," katanya.
Kepala SMAN 20 Bandung Toni Sutisna memandang UU BHP ini berperan sebagai regulator.
Isinya untuk mengatur dan membatasi tindakan penarikan dana partisipasi masyarakat
untuk sekolah.
Sementara itu, beberapa orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
ataupun swasta, masih merasa belum dibebani ataupun diringankan oleh UU ini.
(A-84/A-170/A-176)***
sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=49335
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar