YOGYAKARTA--MI: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyatakan
banyaknya protes dari masyarakat utamanya mahasiswa mengenai Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (UUBHP) disebabkan ketidaktahuan mereka mengenai versi terakhir UU
tersebut yang disahkan oleh DPR.
"Saya duga, banyak yang belum tahu mengenai versi terakhir UU yang disahkan, tetapi
saya tidak akan mempermasalahkan itu terkait banyaknya protes mahasiswa," katanya
usai menghadiri seminar Serat Centhini di Yogyakarta, Senin (22/12).
Menurut dia, mahasiswa belum tahu versi yang disahkan, tetapi sudah terlanjur
unjukrasa. "Selain itu, UU BHP yang disahkan DPR pada 17 Desember lalu tidak benar
jika disebut melegalisasi komersialisasi pendidikan seperti yang dikhawatirkan
selama ini," katanya.
Dalam UU BHP, kata dia, telah dituliskan aturan yang pasti mengenai bentuk suatu
institusi pendidikan, yaitu nirlaba, sehingga jika ada kelebihan sisa hasil usaha
(SHU), maka kelebihan tersebut kembali ke institusi pendidikan untuk meningkatkan
mutu atau kapasitas pelayanan pendidikan.
"Sedangkan siapa yang memperkaya diri sendiri akan dikenai hukuman pidana lima tahun
dan denda Rp500 juta. Begitu juga dengan pungutan maksimal yang dapat dikenakan
kepada mahasiswa diatur secara jelas, utamanya untuk yang negeri," katanya.
Terkait lamanya waktu pembahasan RUU BHP, kata menteri, tujuannya untuk
mengakomodasi semua suara masyarakat dan mahasiswa agar tercakup dalam UU BHP
tersebut.
Menyinggung keinginan untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi
(MK), kata menteri, menjadi satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengetahui apakah
UU BHP tersebut merugikan masyarakat atau tidak.
"Saya tidak akan menghalang-halangi, karena semua UU bisa di judicial review kecuali
UUD, silakan ajukan ke MK," katanya. (Ant/OL-02)
sumber :http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTIwNDQ=
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Selasa, 23 Desember 2008
Pendidikan tak Boleh Dikomersialkan
JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh menilai, tak perlu ada
kekhawatiran berlebihan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tuduhan
bahwa UU itu melegalkan komersialisasi pendidikan, dinilainya, tak beralasan.''Apa
betul begitu? Mangga, dibaca dengan baik di versi yang terakhir, yang disahkan DPR
pada 17 Desember 2008,'' kata Nuh kepada Republika, Ahad (21/12).
Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini mengatakan,
definisi komersialisasi adalah menangguk keuntungan dan hasilnya dikembalikan kepada
pemilik modal. ''Di UU BHP, jelas ditegaskan bahwa satuan pendidikan itu nirlaba,
bukan profit oriented,'' katanya.
Kalaupun BHP itu memperoleh pendapatan besar dan cepat, Nuh mengatakan, dana
tersebut bukan dibagi, tapi untuk investasi peningkatan kualitas pendidikan.
''Komersialisasi pendidikan memang tidak boleh.''Pemerintah, kata Nuh, tak lepas
tangan dalam membiayai pendidikan. Sebab, 20 persen APBN dan APBD sudah dialokasikan
untuk pendidikan. Pendidikan dasar sembilan tahun pun sudah digratiskan. Tapi, untuk
pendidikan menengah dan tinggi, pemerintah tak mungkin menanggung seluruhnya,
sementara kemampuan perguruan tinggi juga terbatas.
Alhasil, kata Nuh, untuk pendidikan menengah dan tinggi, ''Biaya harus ditanggung
bersama. Ada sharing. Tapi, tidak pukul rata. Tidak adil kalau kaya miskin pukul
rata. Pemerintah tidak lepas tangan, masyarakat tak boleh andalkan gratisan, dan
perguruan tinggi dituntut lebih cerdas mengelola resources.''
Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP menuai penolakan, antara lain, karena
membebankan sepertiga biaya operasional pendidikan (BOP) di perguruan tinggi kepada
mahasiswa. Rektor ITS, Priyo Suprobo, menyatakan, ITS tak siap menerapkan UU BHP.
Sebabnya, bila sepertiga BOP dibebankan kepada mahasiswa, biaya kuliah akan mahal.
Sebagai perbandingan, Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Somantri,
menyatakan, BOP UI adalah Rp 1,5 triliun per tahun. Dengan demikian, sepertiganya
adalah Rp 500 miliar. Bila jumlah mahasiswa UI adalah 10 ribu orang, rata-rata
setiap mahasiswa UI harus menanggung Rp 50 juta per tahun.Sementara itu, Ketua Umum
Ikatan Sarjana Pendidikan, Sudijarto, mengatakan, Pasal 31 UUD 1945 telah mengadopsi
sistem yang dianut di negara-negara sejahtera, seperti Eropa dan Amerika. Yaitu,
pendidikan dibiayai pemerintah.
Memang, kata Sudijarto, hanya Jerman dan negara Skandinavia yang sekarang masih
menggratiskan biaya pendidikan. Adapun AS dan Inggris yang dulu gratis, sekarang
juga memungut biaya dari mahasiswa. ''Tapi, di Amerika, hanya 14 persen biaya
universitas negeri yang ditanggung mahasiswa, sedangkan universitas swasta 40
persen,'' sebut dia. Itu pun besaran biaya pendidikan ditentukan oleh parlemen dan
bukan oleh universitas masing-masing. ann
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21867.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
kekhawatiran berlebihan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tuduhan
bahwa UU itu melegalkan komersialisasi pendidikan, dinilainya, tak beralasan.''Apa
betul begitu? Mangga, dibaca dengan baik di versi yang terakhir, yang disahkan DPR
pada 17 Desember 2008,'' kata Nuh kepada Republika, Ahad (21/12).
Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini mengatakan,
definisi komersialisasi adalah menangguk keuntungan dan hasilnya dikembalikan kepada
pemilik modal. ''Di UU BHP, jelas ditegaskan bahwa satuan pendidikan itu nirlaba,
bukan profit oriented,'' katanya.
Kalaupun BHP itu memperoleh pendapatan besar dan cepat, Nuh mengatakan, dana
tersebut bukan dibagi, tapi untuk investasi peningkatan kualitas pendidikan.
''Komersialisasi pendidikan memang tidak boleh.''Pemerintah, kata Nuh, tak lepas
tangan dalam membiayai pendidikan. Sebab, 20 persen APBN dan APBD sudah dialokasikan
untuk pendidikan. Pendidikan dasar sembilan tahun pun sudah digratiskan. Tapi, untuk
pendidikan menengah dan tinggi, pemerintah tak mungkin menanggung seluruhnya,
sementara kemampuan perguruan tinggi juga terbatas.
Alhasil, kata Nuh, untuk pendidikan menengah dan tinggi, ''Biaya harus ditanggung
bersama. Ada sharing. Tapi, tidak pukul rata. Tidak adil kalau kaya miskin pukul
rata. Pemerintah tidak lepas tangan, masyarakat tak boleh andalkan gratisan, dan
perguruan tinggi dituntut lebih cerdas mengelola resources.''
Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP menuai penolakan, antara lain, karena
membebankan sepertiga biaya operasional pendidikan (BOP) di perguruan tinggi kepada
mahasiswa. Rektor ITS, Priyo Suprobo, menyatakan, ITS tak siap menerapkan UU BHP.
Sebabnya, bila sepertiga BOP dibebankan kepada mahasiswa, biaya kuliah akan mahal.
Sebagai perbandingan, Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Somantri,
menyatakan, BOP UI adalah Rp 1,5 triliun per tahun. Dengan demikian, sepertiganya
adalah Rp 500 miliar. Bila jumlah mahasiswa UI adalah 10 ribu orang, rata-rata
setiap mahasiswa UI harus menanggung Rp 50 juta per tahun.Sementara itu, Ketua Umum
Ikatan Sarjana Pendidikan, Sudijarto, mengatakan, Pasal 31 UUD 1945 telah mengadopsi
sistem yang dianut di negara-negara sejahtera, seperti Eropa dan Amerika. Yaitu,
pendidikan dibiayai pemerintah.
Memang, kata Sudijarto, hanya Jerman dan negara Skandinavia yang sekarang masih
menggratiskan biaya pendidikan. Adapun AS dan Inggris yang dulu gratis, sekarang
juga memungut biaya dari mahasiswa. ''Tapi, di Amerika, hanya 14 persen biaya
universitas negeri yang ditanggung mahasiswa, sedangkan universitas swasta 40
persen,'' sebut dia. Itu pun besaran biaya pendidikan ditentukan oleh parlemen dan
bukan oleh universitas masing-masing. ann
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21867.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Tepat, Uji Materiil UU BHP
BANDUNG, (PR).-
Uji materiil atau judicial review merupakan langkah hukum yang tepat untuk
menyelesaikan pro-kontra Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru
saja diundangkan. Permohonan uji materiil dapat diajukan oleh perseorangan ataupun
institusi, sebab secara yuridis keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama kuat.
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bandung I Gde
Pantja Astawa kepada "PR", Minggu (21/12). "Melalui judicial review itu akan dikaji
apakah substansi UU BHP tersebut ada yang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak,"
katanya.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), kata Pantja, pemohon
pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh undang-undang. Pihak itu berupa perseorangan, kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang sesuai dengan prinsip negara, badan hukum publik atau privat,
dan lembaga negara.
Uji materiil bisa diajukan pada beberapa pasal yang dirasa memberatkan saja atau
juga seluruh UU BHP. Jika uji materiil diajukan untuk keseluruhan, MK akan meninjau
apakah sebaiknya UU tersebut tetap diundangkan atau dibatalkan. MK nantinya akan
melibatkan para pakar untuk memberikan tinjauan.
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana yang dihubungi terpisah, sependapat
dilakukannya uji materiil pada UU BHP pada pasal-pasal yang dianggap merugikan.
Selain itu, pemerintah dirasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
menjabarkan lebih detail UU BHP. Langkah itu dirasa mampu mereduksi kekhawatiran
masyarakat setelah diundangkannya RUU BHP.
Uu mengatakan, melalui UU BHP pemerintah bermaksud mengatur keterlibatan rakyat
dalam penyelenggaraan pendidikan. "Pemerintah membuat undang-undang itu niatnya
baik, untuk kepentingan bangsa. Tapi, mungkin pemerintah lupa, ketika lembaga
pendidikan juga memungut uang, kontrol pemerintah jadi tidak seratus persen,"
ujarnya.
Pendidikan gratis
UU BHP masih membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip pendidikan gratis yang dijanjikan selama ini.
"Pendidikan gratis harus jalan terus," ujar Uu. Ia mengatakan, pemerintah harus
terus memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah, utamanya pendidikan dasar.
Bagaimanapun, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja.
Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Suprianto mengatakan, UU BHP membuka peluang bagi
instansi pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan dunia usaha. Tidak semua biaya
operasional ditanggung sendiri. Ia mengatakan, banyak penyesuaian yang harus
dilakukan pada masa yang akan datang seiring dengan rencana pemerintah
menyelenggarakan pendidikan gratis.
"Yang jelas, sampai 2009, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-red.) harus tetap
berjalan," katanya. Pemprov Jabar telah menganggarkan sekitar Rp 600 miliar untuk
menambah dana BOS dari pusat.
Nur berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya UU BHP ini.
Masyarakat dari kalangan menengah ke bawah tidak akan kehilangan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi tetap harus memberikan
banyak alternatif untuk bisa menempuh pendidikan di sana.
Kontraproduktif
Dari Yogyakarta dilaporkan, Forum Rektor menilai UU BHP, secara substansial,
menunjukkan sebagai ketentuan yang kontraproduktif. Alasannya, pengaturan proporsi
biaya operasional pendidikan sebesar 75% atau 2/3 ditanggung masyarakat, sisanya 25%
atau 1/4 bagian saja menjadi tanggungan pemerintah, seolah mengubah komitmen negara
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBN.
"Dengan demikian, langkah tepat yang telah diambil pemerintah memenuhi ketentuan UUD
untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% akan dipertanyakan oleh
masyarakat," kata Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec di Yogyakarta,
Minggu (21/12). Pernyataan bersama secara tertulis ini didukung sejumlah nama
pengurus Forum Rektor lainnya, Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Prof. Ir. Eko
Budihardjo, M.Sc, Prof. Dr. Thoby Mutis, Dr. Chairil Effendi, M.S.
Penekanan pendidikan perguruan tinggi yang berbasis pada kemandirian dan dibiayai
oleh masyarakat sendiri, menurut Forum Rektor menumbuhkan kesan, di masyarakat lokal
maupun internasional, "Indonesia telah mengubah orientasi pendidikan menjadi layanan
publik yang diperdagangkan," kata Edy yang sehari-hari menjabat Rektor Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Negeri - Swasta
Sementara itu, pelaksanaan UU BHP masih dirasa belum jelas, terutama bagi sekolah
swasta. "Saya merasa keberatan dengan UU BHP ini. Seharusnya, lebih diperjelas lagi
kriteria lembaga pendidikannya. Seluruh dana kami berasal dari siswa (orang tua)
karena merupakan sekolah swasta. Apakah akan disamaratakan dengan sekolah negeri?"
kata Dede Suhartati, Kepala SD Yayasan Wanita Kereta Api (YWKA) Bandung.
Menurut dia, UU BHP memiliki dampak berbeda bagi sekolah negeri dan swasta. Mungkin
bagi sekolah negeri, ucap dia, UU ini akan meringankan beban sekolah karena ada
aturan yang jelas mengenai batasan penarikan dana dari orang tua. "Tapi tidak bagi
sekolah swasta," katanya.
Kepala SMAN 20 Bandung Toni Sutisna memandang UU BHP ini berperan sebagai regulator.
Isinya untuk mengatur dan membatasi tindakan penarikan dana partisipasi masyarakat
untuk sekolah.
Sementara itu, beberapa orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
ataupun swasta, masih merasa belum dibebani ataupun diringankan oleh UU ini.
(A-84/A-170/A-176)***
sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=49335
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Uji materiil atau judicial review merupakan langkah hukum yang tepat untuk
menyelesaikan pro-kontra Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru
saja diundangkan. Permohonan uji materiil dapat diajukan oleh perseorangan ataupun
institusi, sebab secara yuridis keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama kuat.
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bandung I Gde
Pantja Astawa kepada "PR", Minggu (21/12). "Melalui judicial review itu akan dikaji
apakah substansi UU BHP tersebut ada yang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak,"
katanya.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), kata Pantja, pemohon
pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh undang-undang. Pihak itu berupa perseorangan, kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang sesuai dengan prinsip negara, badan hukum publik atau privat,
dan lembaga negara.
Uji materiil bisa diajukan pada beberapa pasal yang dirasa memberatkan saja atau
juga seluruh UU BHP. Jika uji materiil diajukan untuk keseluruhan, MK akan meninjau
apakah sebaiknya UU tersebut tetap diundangkan atau dibatalkan. MK nantinya akan
melibatkan para pakar untuk memberikan tinjauan.
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana yang dihubungi terpisah, sependapat
dilakukannya uji materiil pada UU BHP pada pasal-pasal yang dianggap merugikan.
Selain itu, pemerintah dirasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
menjabarkan lebih detail UU BHP. Langkah itu dirasa mampu mereduksi kekhawatiran
masyarakat setelah diundangkannya RUU BHP.
Uu mengatakan, melalui UU BHP pemerintah bermaksud mengatur keterlibatan rakyat
dalam penyelenggaraan pendidikan. "Pemerintah membuat undang-undang itu niatnya
baik, untuk kepentingan bangsa. Tapi, mungkin pemerintah lupa, ketika lembaga
pendidikan juga memungut uang, kontrol pemerintah jadi tidak seratus persen,"
ujarnya.
Pendidikan gratis
UU BHP masih membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan prinsip pendidikan gratis yang dijanjikan selama ini.
"Pendidikan gratis harus jalan terus," ujar Uu. Ia mengatakan, pemerintah harus
terus memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah, utamanya pendidikan dasar.
Bagaimanapun, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa
dilepaskan begitu saja.
Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Suprianto mengatakan, UU BHP membuka peluang bagi
instansi pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan dunia usaha. Tidak semua biaya
operasional ditanggung sendiri. Ia mengatakan, banyak penyesuaian yang harus
dilakukan pada masa yang akan datang seiring dengan rencana pemerintah
menyelenggarakan pendidikan gratis.
"Yang jelas, sampai 2009, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-red.) harus tetap
berjalan," katanya. Pemprov Jabar telah menganggarkan sekitar Rp 600 miliar untuk
menambah dana BOS dari pusat.
Nur berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya UU BHP ini.
Masyarakat dari kalangan menengah ke bawah tidak akan kehilangan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi tetap harus memberikan
banyak alternatif untuk bisa menempuh pendidikan di sana.
Kontraproduktif
Dari Yogyakarta dilaporkan, Forum Rektor menilai UU BHP, secara substansial,
menunjukkan sebagai ketentuan yang kontraproduktif. Alasannya, pengaturan proporsi
biaya operasional pendidikan sebesar 75% atau 2/3 ditanggung masyarakat, sisanya 25%
atau 1/4 bagian saja menjadi tanggungan pemerintah, seolah mengubah komitmen negara
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBN.
"Dengan demikian, langkah tepat yang telah diambil pemerintah memenuhi ketentuan UUD
untuk menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% akan dipertanyakan oleh
masyarakat," kata Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec di Yogyakarta,
Minggu (21/12). Pernyataan bersama secara tertulis ini didukung sejumlah nama
pengurus Forum Rektor lainnya, Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Prof. Ir. Eko
Budihardjo, M.Sc, Prof. Dr. Thoby Mutis, Dr. Chairil Effendi, M.S.
Penekanan pendidikan perguruan tinggi yang berbasis pada kemandirian dan dibiayai
oleh masyarakat sendiri, menurut Forum Rektor menumbuhkan kesan, di masyarakat lokal
maupun internasional, "Indonesia telah mengubah orientasi pendidikan menjadi layanan
publik yang diperdagangkan," kata Edy yang sehari-hari menjabat Rektor Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Negeri - Swasta
Sementara itu, pelaksanaan UU BHP masih dirasa belum jelas, terutama bagi sekolah
swasta. "Saya merasa keberatan dengan UU BHP ini. Seharusnya, lebih diperjelas lagi
kriteria lembaga pendidikannya. Seluruh dana kami berasal dari siswa (orang tua)
karena merupakan sekolah swasta. Apakah akan disamaratakan dengan sekolah negeri?"
kata Dede Suhartati, Kepala SD Yayasan Wanita Kereta Api (YWKA) Bandung.
Menurut dia, UU BHP memiliki dampak berbeda bagi sekolah negeri dan swasta. Mungkin
bagi sekolah negeri, ucap dia, UU ini akan meringankan beban sekolah karena ada
aturan yang jelas mengenai batasan penarikan dana dari orang tua. "Tapi tidak bagi
sekolah swasta," katanya.
Kepala SMAN 20 Bandung Toni Sutisna memandang UU BHP ini berperan sebagai regulator.
Isinya untuk mengatur dan membatasi tindakan penarikan dana partisipasi masyarakat
untuk sekolah.
Sementara itu, beberapa orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
ataupun swasta, masih merasa belum dibebani ataupun diringankan oleh UU ini.
(A-84/A-170/A-176)***
sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=49335
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Prof. Said, "Itu Bisa Direvisi"
SETIABUDHI,(GM)-
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah disahkan DPR bisa direvisi
apabila banyak masukan dari masyarakat dan lembaga pendidikan. "Saya kira UU BHP
bisa direvisi apabila hasil kajian-kajian tersebut sangat relevan dengan kondisi
pendidikan saat ini," ujar pengamat dan pakar pendidikan, Prof. Dr. Said Hamid Hasan
yang dihubungi "GM" di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kamis
(18/12).
Hasil revisi UU BHP inilah, kata Said, yang merupakan masukan dari masyarakat
pendidikan dan lembaga pendidikan, yang bisa digunakan. Sehingga pada pelaksanannya
atau ketika UU BHP ini dilaksanakan, tidak ada satu pun masyarakat yang dirugikan.
"Pemerintah membuat UU BHP ini bukan untuk merugikan masyarakat, namun sebaliknya,"
ujarnya.
Oleh karena itu, katanya, UU BHP tersebut tidak serta merta bisa dieksekusi di
lapangan begitu saja setelah disahkan. "Namun perlu disosialisasikan antara satu
sampai dua tahun di lapangan untuk mendapat masukan," tambahnya.
Tujuan BHP sendiri, katanya, sebagai jaminan pemerintah kepada masyarakat tentang
pendidikan. Selama ini, banyak lembaga pendidikan yang berdiri, namun ada sebagian
yang tidak berbadan hukum dan lebih berorientasi pada pungutan.
Namun, lanjutnya, ada sejumlah permasalahan dengan disahkannya UU BHP ini, salah
satunya, apakah lembaga pendidikan didirikan oleh perorangan (orang kaya) perlu
berbadan hukum. Pasalnya, katanya, lembaga pendidikan swasta kebanyakan didirikan
yayasan atau lembaga. "Hal inilah yang perlu dikaji lebih jauh oleh para pakar
pendidikan dan pembuat UU BHP," ujarnya.
Dorong kompetisi
Sementara itu, praktisi pendidikan, Dr. Muchlis R. Luddin, M.A. mengatakan, UU BHP
bisa mendorong kompetensi dan mengubah perilaku. Universitas atau perguruan tinggi
bisa leluasa mengelola sendiri administrasi, masalah akademik, dan keuangan.
Konsekuensinya, masyarakat harus bertanggung jawab dalam hal pendanaan.
(B.81/B.95)**
sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140706&idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah disahkan DPR bisa direvisi
apabila banyak masukan dari masyarakat dan lembaga pendidikan. "Saya kira UU BHP
bisa direvisi apabila hasil kajian-kajian tersebut sangat relevan dengan kondisi
pendidikan saat ini," ujar pengamat dan pakar pendidikan, Prof. Dr. Said Hamid Hasan
yang dihubungi "GM" di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kamis
(18/12).
Hasil revisi UU BHP inilah, kata Said, yang merupakan masukan dari masyarakat
pendidikan dan lembaga pendidikan, yang bisa digunakan. Sehingga pada pelaksanannya
atau ketika UU BHP ini dilaksanakan, tidak ada satu pun masyarakat yang dirugikan.
"Pemerintah membuat UU BHP ini bukan untuk merugikan masyarakat, namun sebaliknya,"
ujarnya.
Oleh karena itu, katanya, UU BHP tersebut tidak serta merta bisa dieksekusi di
lapangan begitu saja setelah disahkan. "Namun perlu disosialisasikan antara satu
sampai dua tahun di lapangan untuk mendapat masukan," tambahnya.
Tujuan BHP sendiri, katanya, sebagai jaminan pemerintah kepada masyarakat tentang
pendidikan. Selama ini, banyak lembaga pendidikan yang berdiri, namun ada sebagian
yang tidak berbadan hukum dan lebih berorientasi pada pungutan.
Namun, lanjutnya, ada sejumlah permasalahan dengan disahkannya UU BHP ini, salah
satunya, apakah lembaga pendidikan didirikan oleh perorangan (orang kaya) perlu
berbadan hukum. Pasalnya, katanya, lembaga pendidikan swasta kebanyakan didirikan
yayasan atau lembaga. "Hal inilah yang perlu dikaji lebih jauh oleh para pakar
pendidikan dan pembuat UU BHP," ujarnya.
Dorong kompetisi
Sementara itu, praktisi pendidikan, Dr. Muchlis R. Luddin, M.A. mengatakan, UU BHP
bisa mendorong kompetensi dan mengubah perilaku. Universitas atau perguruan tinggi
bisa leluasa mengelola sendiri administrasi, masalah akademik, dan keuangan.
Konsekuensinya, masyarakat harus bertanggung jawab dalam hal pendanaan.
(B.81/B.95)**
sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140706&idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
UU BHP Menyulitkan PTS
SETIABUDHI,(GM)-
Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bakal mengakibatkan
pengembangan perguruan tinggi swasta (PTS) semakin berat. Pasalnya, UU BHP sama
sekali tidak mencantumkan sumber pembiayaan pendidikan dari pemerintah yang
dialokasikan untuk pengembangan PTS.
Pernyataan itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) Wilayah IV Jawa Barat-Banten, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. kepada
wartawan, seusai menghadiri kuliah umum "Prospek Ekonomi dan Politik Indonesia Tahun
2009 oleh Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti", di Auditorium Universitas Pasundan
(Unpas), Jln. Dr. Setiabudhi Bandung, Kamis (18/12). Pernyataan itu diungkapkan Didi
Turmudzi untuk menyikapi disahkannya rancangan UU BHP menjadi UU oleh DPR RI di
Jakarta, Rabu (17/12).
"Berbeda dengan perguruan tinggi negeri (PTN), sumber pembiayaan pendidikan yang
berasal dari pemerintah untuk PTS tidak disebutkan UU itu. Kondisi itu akan semakin
menyulitkan PTS. Pada situasi demikian, PTS harus berupaya agar bisa melanjutkan
kelangsungan hidupnya," katanya.
Menurut Rektor Unpas itu, ketimpangan perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap
PTN dan PTS, juga terlihat secara jelas dalam pembukaan program studi (prodi) baru.
Salah satu isi dari UU itu, katanya, menyebutkan bahwa untuk membuka sebuah prodi di
PTN, tidak perlu melalui prosedur pengajuan izin ke Direktorat Jenderal (Ditjen)
Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun,
katanya, hal sebaliknya diberlakukan untuk PTS. "Pembukaan sebuah prodi di PTS harus
melalui rangkaian prosedur pengajuan izin ke Ditjen Dikti Depdiknas. Berdasarkan
kenyataan itu, kami mempertanyakan, mengapa perbedaan perlakuan seperti itu mesti
terjadi?" katanya.
Mekanisme pasar
Selanjutnya Didi mengatakan, menyusul disahkannya UU BHP, dalam pengembangan
perguruan tinggi (PT) akan muncul sistem mekanisme pasar. PT yang memiliki sumber
pembiayaan yang besar dan kuat, akan tetap bertahan. Namun bagi PT yang lemah dan
memiliki sumber pembiayaan pendidikan yang minim, kemungkinan untuk terus
melanjutkan proses pendidikan masih dipertanyakan. "Kekhawatiran itu akan
bermunculan di kalangan pengelola pendidikan di lapangan. Mereka semakin cemas dalam
menghadapi kebijakan pengembangan pendidikan yang muncul akhir-akhir ini," ujar
Ketua Forum Rektor Provinsi Jawa Barat itu. (B.80)**
sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140626&idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bakal mengakibatkan
pengembangan perguruan tinggi swasta (PTS) semakin berat. Pasalnya, UU BHP sama
sekali tidak mencantumkan sumber pembiayaan pendidikan dari pemerintah yang
dialokasikan untuk pengembangan PTS.
Pernyataan itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) Wilayah IV Jawa Barat-Banten, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. kepada
wartawan, seusai menghadiri kuliah umum "Prospek Ekonomi dan Politik Indonesia Tahun
2009 oleh Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti", di Auditorium Universitas Pasundan
(Unpas), Jln. Dr. Setiabudhi Bandung, Kamis (18/12). Pernyataan itu diungkapkan Didi
Turmudzi untuk menyikapi disahkannya rancangan UU BHP menjadi UU oleh DPR RI di
Jakarta, Rabu (17/12).
"Berbeda dengan perguruan tinggi negeri (PTN), sumber pembiayaan pendidikan yang
berasal dari pemerintah untuk PTS tidak disebutkan UU itu. Kondisi itu akan semakin
menyulitkan PTS. Pada situasi demikian, PTS harus berupaya agar bisa melanjutkan
kelangsungan hidupnya," katanya.
Menurut Rektor Unpas itu, ketimpangan perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap
PTN dan PTS, juga terlihat secara jelas dalam pembukaan program studi (prodi) baru.
Salah satu isi dari UU itu, katanya, menyebutkan bahwa untuk membuka sebuah prodi di
PTN, tidak perlu melalui prosedur pengajuan izin ke Direktorat Jenderal (Ditjen)
Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun,
katanya, hal sebaliknya diberlakukan untuk PTS. "Pembukaan sebuah prodi di PTS harus
melalui rangkaian prosedur pengajuan izin ke Ditjen Dikti Depdiknas. Berdasarkan
kenyataan itu, kami mempertanyakan, mengapa perbedaan perlakuan seperti itu mesti
terjadi?" katanya.
Mekanisme pasar
Selanjutnya Didi mengatakan, menyusul disahkannya UU BHP, dalam pengembangan
perguruan tinggi (PT) akan muncul sistem mekanisme pasar. PT yang memiliki sumber
pembiayaan yang besar dan kuat, akan tetap bertahan. Namun bagi PT yang lemah dan
memiliki sumber pembiayaan pendidikan yang minim, kemungkinan untuk terus
melanjutkan proses pendidikan masih dipertanyakan. "Kekhawatiran itu akan
bermunculan di kalangan pengelola pendidikan di lapangan. Mereka semakin cemas dalam
menghadapi kebijakan pengembangan pendidikan yang muncul akhir-akhir ini," ujar
Ketua Forum Rektor Provinsi Jawa Barat itu. (B.80)**
sumber :
http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20081219140626&idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Uji Materi Bakal Diajukan
Jakarta, Kompas - Keberatan dengan pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,
sejumlah elemen pendidikan bersiap mengajukan permohonan uji materi undang-undang
atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Isi perundang-undangan tersebut dinilai
tidak cocok dengan situasi Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah memacu
kualitas sumber daya manusianya agar dapat bangkit dari keterpurukan. Masyarakat
kehilangan harapan akan pendidikan murah dan mudah diakses setelah disahkannya
perundang-undangan tersebut.
”Kami bersama elemen lain yang mempunyai keinginan sama, seperti kelompok
mahasiswa, guru, dan institusi pendidikan, akan mengadakan pertemuan pada Senin
(22/12) untuk membahas judicial review,” ujar Manajer Monitoring Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, Minggu. Dalam pertemuan itu, mereka akan
mengevaluasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang
ingin diuji. Pilihan lainnya adalah menguji Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan pembentukan BHP.
”UU BHP itu cocoknya di negara maju. Ini mirip dengan kebijakan manajemen berbasis
sekolah yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Kenyataannya, manajemen berbasis
sekolah strukturnya sulit diimplementasikan,” ujarnya.
Pengamat pendidikan sekaligus pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta,
Darmaningtyas, menambahkan, Taman Siswa termasuk yang ingin mengajukan pengujian UU
BHP. Undang-undang tersebut, menurutnya, menjadi titik pangkal pembentukan korporasi
pendidikan.
Darmaningtyas melihat, pemerintah memilih jalan privatisasi pendidikan. Hal itu
terlihat dari tata kelola, pengurusan kekayaan, dan pendanaan di bidang pendidikan
yang tertuang dalam UU BHP. Semakin lama. bisa jadi komposisi pendanaan oleh
pemerintah akan semakin kecil dibandingkan dengan pembiayaan oleh masyarakat.
”Di atas kertas saja seakan tidak ada masalah, termasuk soal perguruan tinggi
berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Kenyataannya, uang kuliah di PT BHMN
tambah mahal,” ujarnya.
Dengan jumlah institusi pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga
perguruan tinggi yang sangat banyak, pemerintah akan kesulitan mengontrol sejauh
mana komposisi pungutan yang dicantumkan dalam perundang-undangan dipatuhi. ”Tujuh
BHMN saja pemerintah kesulitan mengontrolnya” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia Thomas Suyatno mengatakan, belum ada rencana untuk mengajukan pengujian UU
BHP. ”Kami akan mengadakan rapat evaluasi untuk melihat berbagai komplikasi yang
ada dari UU BHP,” ujarnya.
Prinsip-prinsip yang akan tetap dijaga adalah tetap adanya eksistensi yayasan untuk
menyelenggarakan pendidikan secara langsung, tetap hidupnya kemajemukan, tidak ada
diskriminasi institusi pendidikan negeri dan swasta, serta hak yayasan tetap
dihargai. (INE)
sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/00455090/uji.materi.bakal.diajukan
Senin, 22 Desember 2008 | 00:45 WIB
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
sejumlah elemen pendidikan bersiap mengajukan permohonan uji materi undang-undang
atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Isi perundang-undangan tersebut dinilai
tidak cocok dengan situasi Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah memacu
kualitas sumber daya manusianya agar dapat bangkit dari keterpurukan. Masyarakat
kehilangan harapan akan pendidikan murah dan mudah diakses setelah disahkannya
perundang-undangan tersebut.
”Kami bersama elemen lain yang mempunyai keinginan sama, seperti kelompok
mahasiswa, guru, dan institusi pendidikan, akan mengadakan pertemuan pada Senin
(22/12) untuk membahas judicial review,” ujar Manajer Monitoring Pelayanan Publik
Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, Minggu. Dalam pertemuan itu, mereka akan
mengevaluasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang
ingin diuji. Pilihan lainnya adalah menguji Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan pembentukan BHP.
”UU BHP itu cocoknya di negara maju. Ini mirip dengan kebijakan manajemen berbasis
sekolah yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Kenyataannya, manajemen berbasis
sekolah strukturnya sulit diimplementasikan,” ujarnya.
Pengamat pendidikan sekaligus pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta,
Darmaningtyas, menambahkan, Taman Siswa termasuk yang ingin mengajukan pengujian UU
BHP. Undang-undang tersebut, menurutnya, menjadi titik pangkal pembentukan korporasi
pendidikan.
Darmaningtyas melihat, pemerintah memilih jalan privatisasi pendidikan. Hal itu
terlihat dari tata kelola, pengurusan kekayaan, dan pendanaan di bidang pendidikan
yang tertuang dalam UU BHP. Semakin lama. bisa jadi komposisi pendanaan oleh
pemerintah akan semakin kecil dibandingkan dengan pembiayaan oleh masyarakat.
”Di atas kertas saja seakan tidak ada masalah, termasuk soal perguruan tinggi
berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Kenyataannya, uang kuliah di PT BHMN
tambah mahal,” ujarnya.
Dengan jumlah institusi pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga
perguruan tinggi yang sangat banyak, pemerintah akan kesulitan mengontrol sejauh
mana komposisi pungutan yang dicantumkan dalam perundang-undangan dipatuhi. ”Tujuh
BHMN saja pemerintah kesulitan mengontrolnya” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia Thomas Suyatno mengatakan, belum ada rencana untuk mengajukan pengujian UU
BHP. ”Kami akan mengadakan rapat evaluasi untuk melihat berbagai komplikasi yang
ada dari UU BHP,” ujarnya.
Prinsip-prinsip yang akan tetap dijaga adalah tetap adanya eksistensi yayasan untuk
menyelenggarakan pendidikan secara langsung, tetap hidupnya kemajemukan, tidak ada
diskriminasi institusi pendidikan negeri dan swasta, serta hak yayasan tetap
dihargai. (INE)
sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/00455090/uji.materi.bakal.diajukan
Senin, 22 Desember 2008 | 00:45 WIB
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
UU Badan Hukum Pendidikan Diuji Materi DPR tolak UU BHP lakukan komersialisasi pendidikan.
JAKARTA -- Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) mewajibkan perguruan
tinggi menjaring mahasiswa miskin yang berprestasi minimal 20 persen dari total
peserta didik baru. Perguruan tinggi diminta merealisasikan amanat UU tersebut.
''Perguruan tinggi negeri (PTN) harus jemput bola karena semua PTN wajib membuktikan
anak-anak miskin potensial di sana mencapai 20 persen,'' ujar Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, Kamis (18/12), di Jakarta.
Selama ini, ungkapnya, dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru, PTN hanya menampung
tiga persen peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi, tapi memiliki kemampuan
akademik tinggi.
Ketua Panitia Kerja RUU BHP, Heri Akhmadi, juga mendesak perguruan tinggi (PT)
menjaring 20 persen peserta didik miskin. ''Semua PT wajib menerima mahasiswa
berprestasi yang miskin sesuai UU BHP,'' katanya.
UU itu, ungkapnya, justru menghindarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Isi UU
mengamanatkan bahwa biaya anggaran belanja perguruan tinggi yang ditanggung
mahasiswa maksimal hanya sepertiga.
''Itu pun hanya biaya operasional, bukan biaya investasi.'' Adapun biaya investasi,
paparnya, ditanggung pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BHP.
Peraturan pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang menjadi dasar PTN
untuk memungut biaya tinggi justru dikoreksi oleh UU BHP.
Universitas Indonesia (UI), dicontohkannya, mempunyai anggaran Rp 1 triliun. Tapi,
90 persen anggaran belanjanya berasal dari mahasiswa. ''Memang, mereka tidak
menaikkan biaya S1, tapi S2 dan S3 naik luar biasa. Dengan adanya UU BHP, PTN
seperti UI tak bisa lagi memungut biaya hingga 90 persen dari mahasiswa.''
Ketua Panitia Khusus RUU BHP, Irwan Prayitno, juga menepis bahwa UU itu melegalkan
pendidikan hanya untuk orang kaya. Dalam Pasal 46 UU itu, disebutkan bahwa BHP wajib
menerima minimal 20 persen dari seluruh peserta didik baru adalah kalangan tak mampu
berpotensi akademik tinggi.
''BHP juga diwajibkan memberikan beasiswa untuk paling sedikit 20 persen peserta
didik tak mampu,'' katanya.
Namun, merealisasikan isi UU itu dinilai tidak gampang. Ketua Umum Badan Musyawarah
Perguruan Swasta (BMPS), Achmad Fathoni Rodli, menyatakan keberatan jika harus
mengalokasikan 20 persen kuota peserta didik untuk siswa miskin. Dia justru meminta
pemerintah mau menalangi mereka dalam bentuk pemberian beasiswa.
''Tidak semua perguruan swasta mampu memberikan subsidi untuk peserta didik yang
miskin,'' paparnya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Barat dan Banten,
Didi Turmudzi, mengkhawatirkan pasal mengenai pendanaan yang membolehkan memungut
hanya sepertiga dana dari masyarakat. ''Mengancam tidak, tapi dengan UU BHP itu
dapat membunuh PTS yang kecil,'' katanya.
Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri, mengakui tidak mudah menerapkan aturan sesuai
UU BHP. Misalnya, dia sebut soal pendanaan yang diatur sepertiga dari masyarakat,
sepertiga pemerintah, dan sepertiga lagi internal.
''Berarti, UI harus menyiapkan Rp 500 miliar dari Rp 1,5 triliun biaya operasional
pendidikan setiap tahunnya. Ibaratnya, satu kaki UI diikat, kaki yang lain dipecut
untuk ke tingkat world class university.''
Mengantisipasi itu, pihaknya akan menata diri, mulai dari aset fisik hingga aset
intelektual. ''Aset dan lahan yang ada di UI seharusnya bisa dimanfaatkan secara
maksimal.''eye/ann/c84/nri/uki/ant
Poin-Poin Penting UU BHP Bab VI Pendanaan
Pasal 41
4. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling
sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan
pendidikan menengah.
5. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa,
dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
6. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua)
biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Pasal 42
1. Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan
investasi dalam bentuk portofolio.
3. Investasi itu tidak melampaui 10 persen dari volume pendapatan dalam anggaran
tahunan badan hukum pendidikan.
Pasal 43
1. Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan
investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai ketentuan peraturan
perundangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
Pasal 46
1. Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima WNI yang memiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang baru.
2. Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta
didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 persen dari jumlah
seluruh peserta didik.
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21309.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
tinggi menjaring mahasiswa miskin yang berprestasi minimal 20 persen dari total
peserta didik baru. Perguruan tinggi diminta merealisasikan amanat UU tersebut.
''Perguruan tinggi negeri (PTN) harus jemput bola karena semua PTN wajib membuktikan
anak-anak miskin potensial di sana mencapai 20 persen,'' ujar Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, Kamis (18/12), di Jakarta.
Selama ini, ungkapnya, dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru, PTN hanya menampung
tiga persen peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi, tapi memiliki kemampuan
akademik tinggi.
Ketua Panitia Kerja RUU BHP, Heri Akhmadi, juga mendesak perguruan tinggi (PT)
menjaring 20 persen peserta didik miskin. ''Semua PT wajib menerima mahasiswa
berprestasi yang miskin sesuai UU BHP,'' katanya.
UU itu, ungkapnya, justru menghindarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Isi UU
mengamanatkan bahwa biaya anggaran belanja perguruan tinggi yang ditanggung
mahasiswa maksimal hanya sepertiga.
''Itu pun hanya biaya operasional, bukan biaya investasi.'' Adapun biaya investasi,
paparnya, ditanggung pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BHP.
Peraturan pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang menjadi dasar PTN
untuk memungut biaya tinggi justru dikoreksi oleh UU BHP.
Universitas Indonesia (UI), dicontohkannya, mempunyai anggaran Rp 1 triliun. Tapi,
90 persen anggaran belanjanya berasal dari mahasiswa. ''Memang, mereka tidak
menaikkan biaya S1, tapi S2 dan S3 naik luar biasa. Dengan adanya UU BHP, PTN
seperti UI tak bisa lagi memungut biaya hingga 90 persen dari mahasiswa.''
Ketua Panitia Khusus RUU BHP, Irwan Prayitno, juga menepis bahwa UU itu melegalkan
pendidikan hanya untuk orang kaya. Dalam Pasal 46 UU itu, disebutkan bahwa BHP wajib
menerima minimal 20 persen dari seluruh peserta didik baru adalah kalangan tak mampu
berpotensi akademik tinggi.
''BHP juga diwajibkan memberikan beasiswa untuk paling sedikit 20 persen peserta
didik tak mampu,'' katanya.
Namun, merealisasikan isi UU itu dinilai tidak gampang. Ketua Umum Badan Musyawarah
Perguruan Swasta (BMPS), Achmad Fathoni Rodli, menyatakan keberatan jika harus
mengalokasikan 20 persen kuota peserta didik untuk siswa miskin. Dia justru meminta
pemerintah mau menalangi mereka dalam bentuk pemberian beasiswa.
''Tidak semua perguruan swasta mampu memberikan subsidi untuk peserta didik yang
miskin,'' paparnya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Barat dan Banten,
Didi Turmudzi, mengkhawatirkan pasal mengenai pendanaan yang membolehkan memungut
hanya sepertiga dana dari masyarakat. ''Mengancam tidak, tapi dengan UU BHP itu
dapat membunuh PTS yang kecil,'' katanya.
Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri, mengakui tidak mudah menerapkan aturan sesuai
UU BHP. Misalnya, dia sebut soal pendanaan yang diatur sepertiga dari masyarakat,
sepertiga pemerintah, dan sepertiga lagi internal.
''Berarti, UI harus menyiapkan Rp 500 miliar dari Rp 1,5 triliun biaya operasional
pendidikan setiap tahunnya. Ibaratnya, satu kaki UI diikat, kaki yang lain dipecut
untuk ke tingkat world class university.''
Mengantisipasi itu, pihaknya akan menata diri, mulai dari aset fisik hingga aset
intelektual. ''Aset dan lahan yang ada di UI seharusnya bisa dimanfaatkan secara
maksimal.''eye/ann/c84/nri/uki/ant
Poin-Poin Penting UU BHP Bab VI Pendanaan
Pasal 41
4. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling
sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan
pendidikan menengah.
5. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa,
dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
6. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua)
biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Pasal 42
1. Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan
investasi dalam bentuk portofolio.
3. Investasi itu tidak melampaui 10 persen dari volume pendapatan dalam anggaran
tahunan badan hukum pendidikan.
Pasal 43
1. Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan
investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai ketentuan peraturan
perundangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
Pasal 46
1. Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima WNI yang memiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang baru.
2. Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya
pendidikan bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta
didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 persen dari jumlah
seluruh peserta didik.
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21309.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
ITS tak Siap Laksanakan UU BHP BEM tetap menuntut UU BHP dibatalkan.
SURABAYA -- Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, tak siap
melaksanakan ketentuan pendanaan dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Rektor ITS, Priyo Suprobo, mengatakan, ITS tak ingin memberatkan mahasiswa dengan
biaya kuliah mahal.
Menurut Probo, ketidaksiapan itu diputuskan dalam rapat senat dan rektorat yang
digelar beberapa saat setelah paripurna DPR mengesahkan RUU BHP. Rapat menilai
mahasiswa akan diberatkan bila harus menanggung sepertiga biaya operasional
pendidikan (BOP).Bila perguruan tinggi (PT) mengambil alih beban itu, Probo
mengatakan PT bisa lebih fokus pada usaha. ''Karena kita harus membuat badan usaha
seperti toko, mal, dan sejenisnya. Ini bisa jadi bumerang. Roh pendidikan bisa
hilang,'' katanya di Surabaya, Jumat (19/12).
Menghadapi dilema itu, Probo mengatakan ITS memilih belum akan menjadi BHP dengan
segala kewajiban pendanaannya. ''Hasil rapat, ITS akan beralih menjadi Badan Layanan
Umum (BLU) dulu,'' katanya. ''Sumber dana sepertiga itu harus dipikirkan dan
dirumuskan lagi.''Status BLU itu, kata Probo, akan tetap dipakai sambil menunggu
peraturan pelaksanaan UU BHP, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun
peraturan presiden (perpres). Selain soal dana, Probo mengatakan aset dan status
karyawan juga menjadi pertimbangan.
''Kalau kita terapkan UU BHP, status dosen dan pegawai lain bukan pegawai negeri
lagi? Itu kita belum jelas. Lalu, aset tanah, gedung, dan lain-lain, kita juga belum
tahu,'' kata Probo.Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP mewajibkan semua
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat, berstatus BHP. Tapi, hanya perguruan tinggi
yang berdiri setelah pengesahan UU BHP yang harus langsung berstatus BHP.
Untuk yang sudah berdiri sebelum UU BHP disahkan, Pasal 65 UU BHP memberi waktu
melakukan peralihan bentuk, tata kelola, dan mekanisme pendanaan. Yaitu, empat tahun
untuk perguruan tinggi yang didirikan pemerintah, dan enam tahun untuk yang
diselenggarakan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis.
Setelah itu terlampaui, semua ketentuan UU BHP harus dilaksanakan. Antara lain,
Pasal 41 yang menyatakan sepertiga BOP bisa dibebankan kepada mahasiswa. Sebelumnya,
Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Sumantri, justru berpendapat UI
akan kesulitan jika besaran pungutan dibatasi maksimal sepertiga.
Protes BEM
Sementara itu, kemarin, perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia
bertemu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Fasli Jalal. Usai
pertemuan, mereka tetap meminta UU BHP dibatalkan. Mereka menilai pemerintah dan DPR
yang membuat UU itu terburu-buru.
Selain khawatir pada komersialisasi pendidikan, salah satu yang menjadi sorotan BEM
adalah soal kewajiban perguruan tinggi merekrut 20 persen mahasiswa miskin. Mereka
menilai angka itu masih terlalu rendah. Mereka juga khawatir pada ketentuan
pembubaran dan pemailitan perguruan tinggi.
Fasli mengakui UU BHP tak serta-merta akan menyelesaikan semua masalah pendidikan.
Namun, dia menjamin UU tersebut menjawab beberapa masalah penting dengan tegas.
Antara lain, otonomi satuan pendidikan, manajemen pendidikan, penerimaan mahasiswa
baru, dan pembiayaan pendidikan.
Selain itu, kata Fasli, UU BHP telah mewajibkan alokasi 20 persen kursi perguruan
tinggi untuk mahasiswa miskin dan diberi beasiswa. Bagi yang tak melaksanakan
kebijakan afirmatif ini, Fasli mengatakan, sanksi telah menunggu. ''Bisa sampai
pencabutan izin BHP atau pengalihan aset.''
Saham asing
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendy,
menilai, UU BHP terlalu mengarah ke bisnis. Dia menunjuk ketentuan yang membolehkan
investor asing memiliki saham hingga 49 persen di perguruan tinggi. ''Ini berbahaya
bagi pendidikan kita.''
Muhadjir yakin investor asing akan berlomba-lomba berinvestasi. Bila sudah demikian,
dia menilai, pendidikan tak tepat lagi berada di bawah Depdiknas. ''Lebih tepat ada
di bawah kementerian perdagangan, atau mungkin harus ada dirjen khusus perdagangan
pendidikan,'' sindirnya. uki/eye/aji
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21617.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
melaksanakan ketentuan pendanaan dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Rektor ITS, Priyo Suprobo, mengatakan, ITS tak ingin memberatkan mahasiswa dengan
biaya kuliah mahal.
Menurut Probo, ketidaksiapan itu diputuskan dalam rapat senat dan rektorat yang
digelar beberapa saat setelah paripurna DPR mengesahkan RUU BHP. Rapat menilai
mahasiswa akan diberatkan bila harus menanggung sepertiga biaya operasional
pendidikan (BOP).Bila perguruan tinggi (PT) mengambil alih beban itu, Probo
mengatakan PT bisa lebih fokus pada usaha. ''Karena kita harus membuat badan usaha
seperti toko, mal, dan sejenisnya. Ini bisa jadi bumerang. Roh pendidikan bisa
hilang,'' katanya di Surabaya, Jumat (19/12).
Menghadapi dilema itu, Probo mengatakan ITS memilih belum akan menjadi BHP dengan
segala kewajiban pendanaannya. ''Hasil rapat, ITS akan beralih menjadi Badan Layanan
Umum (BLU) dulu,'' katanya. ''Sumber dana sepertiga itu harus dipikirkan dan
dirumuskan lagi.''Status BLU itu, kata Probo, akan tetap dipakai sambil menunggu
peraturan pelaksanaan UU BHP, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun
peraturan presiden (perpres). Selain soal dana, Probo mengatakan aset dan status
karyawan juga menjadi pertimbangan.
''Kalau kita terapkan UU BHP, status dosen dan pegawai lain bukan pegawai negeri
lagi? Itu kita belum jelas. Lalu, aset tanah, gedung, dan lain-lain, kita juga belum
tahu,'' kata Probo.Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP mewajibkan semua
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat, berstatus BHP. Tapi, hanya perguruan tinggi
yang berdiri setelah pengesahan UU BHP yang harus langsung berstatus BHP.
Untuk yang sudah berdiri sebelum UU BHP disahkan, Pasal 65 UU BHP memberi waktu
melakukan peralihan bentuk, tata kelola, dan mekanisme pendanaan. Yaitu, empat tahun
untuk perguruan tinggi yang didirikan pemerintah, dan enam tahun untuk yang
diselenggarakan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis.
Setelah itu terlampaui, semua ketentuan UU BHP harus dilaksanakan. Antara lain,
Pasal 41 yang menyatakan sepertiga BOP bisa dibebankan kepada mahasiswa. Sebelumnya,
Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Sumantri, justru berpendapat UI
akan kesulitan jika besaran pungutan dibatasi maksimal sepertiga.
Protes BEM
Sementara itu, kemarin, perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia
bertemu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Fasli Jalal. Usai
pertemuan, mereka tetap meminta UU BHP dibatalkan. Mereka menilai pemerintah dan DPR
yang membuat UU itu terburu-buru.
Selain khawatir pada komersialisasi pendidikan, salah satu yang menjadi sorotan BEM
adalah soal kewajiban perguruan tinggi merekrut 20 persen mahasiswa miskin. Mereka
menilai angka itu masih terlalu rendah. Mereka juga khawatir pada ketentuan
pembubaran dan pemailitan perguruan tinggi.
Fasli mengakui UU BHP tak serta-merta akan menyelesaikan semua masalah pendidikan.
Namun, dia menjamin UU tersebut menjawab beberapa masalah penting dengan tegas.
Antara lain, otonomi satuan pendidikan, manajemen pendidikan, penerimaan mahasiswa
baru, dan pembiayaan pendidikan.
Selain itu, kata Fasli, UU BHP telah mewajibkan alokasi 20 persen kursi perguruan
tinggi untuk mahasiswa miskin dan diberi beasiswa. Bagi yang tak melaksanakan
kebijakan afirmatif ini, Fasli mengatakan, sanksi telah menunggu. ''Bisa sampai
pencabutan izin BHP atau pengalihan aset.''
Saham asing
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendy,
menilai, UU BHP terlalu mengarah ke bisnis. Dia menunjuk ketentuan yang membolehkan
investor asing memiliki saham hingga 49 persen di perguruan tinggi. ''Ini berbahaya
bagi pendidikan kita.''
Muhadjir yakin investor asing akan berlomba-lomba berinvestasi. Bila sudah demikian,
dia menilai, pendidikan tak tepat lagi berada di bawah Depdiknas. ''Lebih tepat ada
di bawah kementerian perdagangan, atau mungkin harus ada dirjen khusus perdagangan
pendidikan,'' sindirnya. uki/eye/aji
sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/21617.html
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Kontroversi UU BHP
Saturday, 20 December 2008
Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi.
Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU
tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras
untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan
kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai
pertanyaan-pertanyaan itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP.
Otonomi atau Liberalisasi?
Sejak awal disiapkan,RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang
muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang
Dasar 1945.
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi
(neoliberalisme)—atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi
pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU
BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing
mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi
untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak
negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan
penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya
adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan
terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum
milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi
memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.
Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan
bahwa pembiayaannya masih berpijakpadabiayaoperasionalpendidikan (BOP) yang dipungut
dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan,seperti aset PT BHMN
yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan pengembangan sumber penerimaan
lain dari ventura bisnis.
Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik
pengelola,dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi.
Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional
kepada peserta didik.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga
memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian
besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para
wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam
pembiayaan pendidikan oleh BHP.
Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang
kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara
dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/ pemerintah
daerah (BHPP dan BHPPD) merupakankekayaanpendiri (negara/pemerintah daerah) yang
dipisahkan (Pasal 37).
Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan
tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus
ditanamkan kembali ke dalamBHPuntuktujuanpeningkatan kualitas pendidikan.Khusus
untuk pendanaanpendidikanbagiBHPPdan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah
menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling
sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan
BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga
mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan
pendidikan,kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal
40),dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta
didik.
Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah
berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat.
Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan
bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan
sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk
BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan
pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan
besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan
pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan
pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.
Menuju Implementasi UU BHP
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU
BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi
penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap
pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP
tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak
masyarakat—termasuk golongan tidak mampu—untuk menikmati pendidikan.
Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh
menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan
knowledge sharingdan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP,
sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang
dan dihilangkan.
Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan
transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah
kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2
biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum
termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.
Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM.
Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua,maka kekhawatiran
sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang
cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas
sistem birokrasi negara.
Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin
proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi
dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis
menghimbau,mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang
sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(*) *) Tulisan ini merupakan pendapat
pribadi
Eko Prasojo
Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI
sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197560/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi.
Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU
tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras
untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan
kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai
pertanyaan-pertanyaan itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP.
Otonomi atau Liberalisasi?
Sejak awal disiapkan,RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang
muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang
Dasar 1945.
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi
(neoliberalisme)—atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi
pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU
BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing
mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi
untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak
negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan
penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya
adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan
terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum
milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi
memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.
Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan
bahwa pembiayaannya masih berpijakpadabiayaoperasionalpendidikan (BOP) yang dipungut
dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan,seperti aset PT BHMN
yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan pengembangan sumber penerimaan
lain dari ventura bisnis.
Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik
pengelola,dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi.
Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional
kepada peserta didik.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga
memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian
besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para
wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam
pembiayaan pendidikan oleh BHP.
Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang
kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara
dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/ pemerintah
daerah (BHPP dan BHPPD) merupakankekayaanpendiri (negara/pemerintah daerah) yang
dipisahkan (Pasal 37).
Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan
tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus
ditanamkan kembali ke dalamBHPuntuktujuanpeningkatan kualitas pendidikan.Khusus
untuk pendanaanpendidikanbagiBHPPdan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah
menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling
sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan
BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga
mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan
pendidikan,kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal
40),dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta
didik.
Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah
berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat.
Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan
bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan
sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk
BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan
pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan
besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan
pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan
pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.
Menuju Implementasi UU BHP
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU
BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi
penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap
pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP
tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak
masyarakat—termasuk golongan tidak mampu—untuk menikmati pendidikan.
Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh
menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan
knowledge sharingdan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP,
sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang
dan dihilangkan.
Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan
transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah
kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2
biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum
termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.
Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM.
Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua,maka kekhawatiran
sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang
cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas
sistem birokrasi negara.
Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin
proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi
dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis
menghimbau,mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang
sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(*) *) Tulisan ini merupakan pendapat
pribadi
Eko Prasojo
Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI
sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197560/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Pengesahan UU BHP - Pemerintah Bantah Lepas Tanggung Jawab
Penulis : Sidik Pramono
JAKARTA--MI: Pemerintah membantah jika dikatakan melepas tanggung jawab pendidikan
sebagai amanah UUD 1945. Pasalnya, Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)
yang telah disahkan DPR, justru berupaya menaikkan tingkat partisipasi masyarakat
miskin mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Hal itu disampaikan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal kepada pers
menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan mahasiswa dan pengamat pendidikan, bahwa
biaya pendidikan tinggi akan semakin mahal, di Gedung Depdiknas, Jakarta, Jumat
(19/12).
Fasli mengemukakan, dalam UU�BHP mengatur minimal 20 persen dari mahasiswa miskin
wajib diberikan beasiswa oleh perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi
swasta. ''Tidak hanya itu, perguruan tinggi pun memfasilitasi calon mahasiswa dari
keluarga miskin yang potensial, untuk menjemput bola ke SMA dan sederajat,'' kata
Fasli.
Artinya, ujar Fasli, tidak benar jika dikatakan pemerintah melepas tanggung jawab
pendidikan. Bahkan, dengan UU�BHP akan menaikkan partisipasi dari keluarga miskin
untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. ''Dengan UU BHP yang ada pun, dari
jumlah 18 persen usia 18 - 24 tahun yang menempuh perguruan tinggi saat ini, ke
depan akan meningkat,'' kata Fasli.
Di sisi lain, kata Fasli, dengan UU BHP yang salah satunya mengatur lembaga audit,
juga akan mengontrol penggunaan anggaran perguruan tinggi, agar tidak memberatkan
mahasiswa dalam membayar biaya pendidikan di perguruan tinggi. ''Pasalnya, di salah
satu pasalnya, menetapkan maksimum 33 persen anggaran belanja, dipungut dari
mahasiswa. Itupun dihitung,biaya dari mahasiswa untuk biaya operasional,'' ujar
Fasli.
Sedangkan, jelas Fasli, untuk biaya investasi gedung, seperti membangun rehabilitasi
gedung dan membangun gedung baru, perguruan tinggi tidak diperbolehkan memungut uang
dari mahasiswa. ''Untuk biaya investasi gedung itu, nantinya akan ditanggung oleh
pemerintah dan pemda, namun inipun butuh proses transisi yakni 3 tahun dari
ditetapkannya UU�BHP,'' kata Fasli.
Sama halnya dengan Fasli, Wakil Ketua Komisi X DPR yang juga Ketua Panitia Kerja UU
BHP Heri Akhmadi juga menyangkal jika melanggar UUD !945. Menurutnya, dengan UU BHP,
tidak akan ada komersialisasi di bidang pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan
tinggi. ''Tidak benar, kalau DPR melupakan rakyat, DPR menjamin, mahasiswa miskin
tetap mampu mendapatkan pendidikan murah di perguruan tinggi,'' kata Heri.
Di sisi lain, lanjut Heri, bagi mahasiswa dari keluarga kaya juga harus membayar
mahal, karena subsidi silang kepada mahasiswa keluarga miskin untuk menutupi biaya
operasional perguruan tinggi. ''Faktor keadilan itulah, yang jadi pertimbangan
politik DPR mengesahkan UU BHP, karena saat ini orang miskin hanya menduduki 3
persen saja di kursi perguruan tinggi,'' jelas Heri. (Dik/OL-02)
sumber : http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTE1MTQ
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
JAKARTA--MI: Pemerintah membantah jika dikatakan melepas tanggung jawab pendidikan
sebagai amanah UUD 1945. Pasalnya, Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)
yang telah disahkan DPR, justru berupaya menaikkan tingkat partisipasi masyarakat
miskin mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Hal itu disampaikan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal kepada pers
menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan mahasiswa dan pengamat pendidikan, bahwa
biaya pendidikan tinggi akan semakin mahal, di Gedung Depdiknas, Jakarta, Jumat
(19/12).
Fasli mengemukakan, dalam UU�BHP mengatur minimal 20 persen dari mahasiswa miskin
wajib diberikan beasiswa oleh perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi
swasta. ''Tidak hanya itu, perguruan tinggi pun memfasilitasi calon mahasiswa dari
keluarga miskin yang potensial, untuk menjemput bola ke SMA dan sederajat,'' kata
Fasli.
Artinya, ujar Fasli, tidak benar jika dikatakan pemerintah melepas tanggung jawab
pendidikan. Bahkan, dengan UU�BHP akan menaikkan partisipasi dari keluarga miskin
untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. ''Dengan UU BHP yang ada pun, dari
jumlah 18 persen usia 18 - 24 tahun yang menempuh perguruan tinggi saat ini, ke
depan akan meningkat,'' kata Fasli.
Di sisi lain, kata Fasli, dengan UU BHP yang salah satunya mengatur lembaga audit,
juga akan mengontrol penggunaan anggaran perguruan tinggi, agar tidak memberatkan
mahasiswa dalam membayar biaya pendidikan di perguruan tinggi. ''Pasalnya, di salah
satu pasalnya, menetapkan maksimum 33 persen anggaran belanja, dipungut dari
mahasiswa. Itupun dihitung,biaya dari mahasiswa untuk biaya operasional,'' ujar
Fasli.
Sedangkan, jelas Fasli, untuk biaya investasi gedung, seperti membangun rehabilitasi
gedung dan membangun gedung baru, perguruan tinggi tidak diperbolehkan memungut uang
dari mahasiswa. ''Untuk biaya investasi gedung itu, nantinya akan ditanggung oleh
pemerintah dan pemda, namun inipun butuh proses transisi yakni 3 tahun dari
ditetapkannya UU�BHP,'' kata Fasli.
Sama halnya dengan Fasli, Wakil Ketua Komisi X DPR yang juga Ketua Panitia Kerja UU
BHP Heri Akhmadi juga menyangkal jika melanggar UUD !945. Menurutnya, dengan UU BHP,
tidak akan ada komersialisasi di bidang pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan
tinggi. ''Tidak benar, kalau DPR melupakan rakyat, DPR menjamin, mahasiswa miskin
tetap mampu mendapatkan pendidikan murah di perguruan tinggi,'' kata Heri.
Di sisi lain, lanjut Heri, bagi mahasiswa dari keluarga kaya juga harus membayar
mahal, karena subsidi silang kepada mahasiswa keluarga miskin untuk menutupi biaya
operasional perguruan tinggi. ''Faktor keadilan itulah, yang jadi pertimbangan
politik DPR mengesahkan UU BHP, karena saat ini orang miskin hanya menduduki 3
persen saja di kursi perguruan tinggi,'' jelas Heri. (Dik/OL-02)
sumber : http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTE1MTQ
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Pengesahan Undang-Undang BHP
Friday, 19 December 2008
Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan
sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa
khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh
Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba,
akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh
ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk
membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul
kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk
undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk
lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan
mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok
histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa
membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada
satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas
intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi
jika mampu memberi imbalan tertentu.
Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan
Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas
pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.
Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis
(UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom.
Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang
menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan.
Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk
memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen
Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim
penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan
BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ
representasi pemangku kepentingan.
UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak
1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini
satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai
sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya
operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang
banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi.
UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi
tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana
sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang
memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari
keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada
publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau
bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi akademiki tinggi.
Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam
menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan
bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP
menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D
dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan
dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini.
Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hokum untuk melakuka
tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan
“ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal
yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha
dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan pendidikan.
sumber :http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=242&Itemid=54
Ditulis oleh Irwandi
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan
sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa
khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh
Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba,
akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh
ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk
membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul
kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk
undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk
lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan
mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok
histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa
membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada
satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas
intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi
jika mampu memberi imbalan tertentu.
Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan
Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas
pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.
Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis
(UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom.
Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang
menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan.
Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk
memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen
Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim
penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan
BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ
representasi pemangku kepentingan.
UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak
1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini
satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai
sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya
operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang
banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi.
UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi
tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana
sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang
memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari
keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada
publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau
bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi akademiki tinggi.
Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam
menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan
bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP
menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D
dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan
dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini.
Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hokum untuk melakuka
tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan
“ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal
yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha
dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan pendidikan.
sumber :http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=242&Itemid=54
Ditulis oleh Irwandi
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Guru Se-Jabar Tolak UU BHP
BANDUNG, (PR).-
Para guru se-Jawa Barat sepakat menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) yang baru saja disahkan DPR. Mereka juga akan meminta dilakukan pengujian
materiil (judicial review) terhadap undang-undang tersebut. Pernyataan sikap
tersebut akan difasilitasi Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).
"Masih ada waktu 120 hari masa transisi untuk undang-undang yang baru disahkan, hal
ini dimaksudkan untuk mendengarkan respons dari masyarakat. Kami akan memanfaatkan
masa transisi ini agar DPR mau meninjau kembali keputusan mereka," kata Ketua UKSK
UPI Amran Halim di kampus UPI Jln. Setiabudhi, Bandung, Kamis (18/12).
Amran mengemukakan, jika upaya judicial review tidak berhasil, langkah yang akan
diambil selanjutnya adalah berunjuk rasa atau melakukan propaganda melalui media
massa.
Apabila upaya itu gagal, Amran menegaskan, UKSK dan jaringan guru se-Jabar akan
memperkuat ikatan untuk mengawasi dan mengevaluasi implementasi UU BHP, guna
mengantisipasi dampak buruknya.
UKSK dan para guru memandang UU BHP menjadi gerbang yang akan menghanyutkan
nilai-nilai murni pendidikan. Mereka khawatir, kelak akan terjadi transaksi nilai
atau komersialisasi pendidikan.
"Siapa yang punya duit, bisa mengecap pendidikan. Disahkannya RUU BHP bertentangan
dengan iktikad pemerintah untuk menggratiskan pendidikan atau menyediakan pendidikan
yang terjangkau tapi berkualitas," kata Amran.
Sementara itu, praktisi pendidikan Universitas Negeri Jakarta Muchlis R. Luddin
mengatakan, meski tujuan UU BHP tersebut baik, banyak ketentuan yang pada
pelaksanaannya justru menjebak. Termasuk di antaranya ketentuan tanggung jawab
pembiayaan antara pemerintah dan masyarakat.
"Subsidi yang selama ini diberikan rata kepada semua mahasiswa di PTN akan hilang.
Jadi, di sini sebenarnya pemerintah seolah mau melepas tanggung jawabnya," tuturnya.
Menurut mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Malaysia tersebut, yang
harus diwaspadai dari UU BHP ini adalah dampak jangka panjang yang akan terjadi.
Sebab, pada saat lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi tidak mampu memperoleh
dana hibah dari pemerintah, mereka akan membebankan sepenuhnya biaya pendidikan
kepada peserta didik, karena itu jalan termudah.
"Ke depan, yang kuliah di perguruan tinggi terbaik seperti Unpad, ITB, dan UI
mungkin hanya masyarakat menengah ke atas. Mereka yang tidak mampu tidak akan
sanggup lagi mengenyam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi pun lebih memilih menjual
kursi melalui jalur khusus daripada membuka lebar jalur seleksi nasional untuk bisa
bertahan. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang tidak mampu bertahan dengan
sendirinya akan hilang, termasuk lembaga pendidikan gurem yang selama ini sulit
untuk ditertibkan," ungkapnya.
Swasta tak dibahas
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jabar dan Banten sekaligus
Rektor Universitas Pasundan, Prof. Didi Turmudzi, mendesak segera dibuat peraturan
pemerintah (PP) untuk mencari jalan keluar dari kekosongan yang ada pada UU BHP.
Dia mengatakan, perguruan tinggi swasta sudah diposisikan untuk tidak bisa
berkembang dan bersaing dengan perguruan tinggi negeri karena tidak ada satu pasal
pun yang terkait dengan pembiayaan perguruan tinggi swasta di UU BHP.
"BHP itu merangsang setiap perguruan tinggi untuk menyerap dana yang besar dari
masyarakat dan ini menyebabkan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi bagi
kalangan ekonomi lemah menjadi semakin kecil," katanya.
Rektor Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Rully Indrawan juga menganggap
perlu segera dibuat PP BHP. Namun, menurut dia, permasalahannya adalah Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang dibuat tahun 2003 sampai saat ini belum dibuat
PP-nya.
Menurut Rully, sebenarnya ada pihak yang secara tidak langsung dirugikan dalam
penyelenggaraan UU BHP tersebut, yaitu yayasan perguruan tinggi swasta. Dia
menuturkan, yayasan tersebut sebelumnya berperan untuk menyediakan dana bagi
penyelenggaraan pendidikan.
Namun, saat ini yayasan harus menyerahkan manajemen perguruan tinggi kepada Majelis
Wali Amanah yang terdiri atas unsur lain seperti rektor. Hal itu juga berlakukan
pada aset perguruan tinggi yang sebelumnya dipegang yayasan menjadi milik BHP.
"Padahal, merekalah yang sebelumnya mendirikan perguruan tinggi tersebut," ucapnya.
Sementara itu, dalam seminar "BHP Sebagai Solusi Pendidikan Indonesia atau Bukan?"
yang digagas Keluarga Mahasiswa (KM) ITB diungkap empat poin penting dalam UU BHP
yang perlu ditinjau ulang. Pertama, reduksi peranan pemerintah dalam pendanaan BHP.
Terdapat ketidakjelasan besaran proporsi pemerintah dan institusi pendidikan dalam
menanggung biaya pendidikan.
Kedua, otonomisasi kurikulum yang tidak jelas dalam UU BHP. Ketiga, superioritas
pada organ representasi pemangku kepentingan. BHP menempatkan organ representasi
kepentingan sebagai organ tertinggi yang memiliki akses dan kewenangan yang penuh.
Keempat, analogi BHP dengan perusahaan. "Bentuk BHP ini memungkinkan suatu institusi
pendidikan mengalami pembubaran manakala terjadi pailit," kata anggota Kajian
Strategis KM ITB Yuniarti di depan peserta seminar.
Yuniarti menyatakan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena institusi pendidikan
tidak boleh tutup. Sebab, pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas
SDM bangsa dan berpengaruh terhadap kemajuan bangsa.
Bertahap
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bidang pendidikan, agama, dan kesehatan, Prof.
Dr. H. M. Surya mengemukakan, UU BHP bisa memunculkan komersialisasi pendidikan.
Untuk itu, perlu aturan lebih tegas dalam PP yang bisa menekan komersialisasi
pendidikan.
"Dalam UU BHP salah satunya disebutkan lembaga pendidikan masih bisa memungut dana
dari masyarakat yakni sepertiga dari biaya penyelenggaraan pendidikan. Ini bisa
menjadi jalan bagi lembaga pendidikan untuk memungut dana yang nantinya memberatkan
masyarakat," kata Surya di sela-sela kunjungan kerjanya ke RSUD Al Ihsan Baleendah,
Kab. Bandung, Kamis (18/12).
Menurut Surya, hadirnya UU BHP untuk lebih menertibkan lembaga pendidikan yang
meliputi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. "Untuk sementara waktu, kami
berharap agar UU BHP berlaku dulu di pendidikan tinggi, karena fokus pendidikan
dasar pada pencapaian wajib pendidikan 9 tahun," ucapnya.
Untuk menghindari pro dan kontra yang makin tajam, Surya yang juga guru besar UPI
Bandung, mengusulkan agar pemerintah memberlakukan UU BHP secara bertahap. "Jangan
main kemplang, semua lembaga pendidikan harus menerapkan UU BHP. Perlu waktu dan
kesabaran," ujarnya. (A-71/A-157/A-184/A-185/A-187)****
sumber :http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48922
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Para guru se-Jawa Barat sepakat menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) yang baru saja disahkan DPR. Mereka juga akan meminta dilakukan pengujian
materiil (judicial review) terhadap undang-undang tersebut. Pernyataan sikap
tersebut akan difasilitasi Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).
"Masih ada waktu 120 hari masa transisi untuk undang-undang yang baru disahkan, hal
ini dimaksudkan untuk mendengarkan respons dari masyarakat. Kami akan memanfaatkan
masa transisi ini agar DPR mau meninjau kembali keputusan mereka," kata Ketua UKSK
UPI Amran Halim di kampus UPI Jln. Setiabudhi, Bandung, Kamis (18/12).
Amran mengemukakan, jika upaya judicial review tidak berhasil, langkah yang akan
diambil selanjutnya adalah berunjuk rasa atau melakukan propaganda melalui media
massa.
Apabila upaya itu gagal, Amran menegaskan, UKSK dan jaringan guru se-Jabar akan
memperkuat ikatan untuk mengawasi dan mengevaluasi implementasi UU BHP, guna
mengantisipasi dampak buruknya.
UKSK dan para guru memandang UU BHP menjadi gerbang yang akan menghanyutkan
nilai-nilai murni pendidikan. Mereka khawatir, kelak akan terjadi transaksi nilai
atau komersialisasi pendidikan.
"Siapa yang punya duit, bisa mengecap pendidikan. Disahkannya RUU BHP bertentangan
dengan iktikad pemerintah untuk menggratiskan pendidikan atau menyediakan pendidikan
yang terjangkau tapi berkualitas," kata Amran.
Sementara itu, praktisi pendidikan Universitas Negeri Jakarta Muchlis R. Luddin
mengatakan, meski tujuan UU BHP tersebut baik, banyak ketentuan yang pada
pelaksanaannya justru menjebak. Termasuk di antaranya ketentuan tanggung jawab
pembiayaan antara pemerintah dan masyarakat.
"Subsidi yang selama ini diberikan rata kepada semua mahasiswa di PTN akan hilang.
Jadi, di sini sebenarnya pemerintah seolah mau melepas tanggung jawabnya," tuturnya.
Menurut mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Malaysia tersebut, yang
harus diwaspadai dari UU BHP ini adalah dampak jangka panjang yang akan terjadi.
Sebab, pada saat lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi tidak mampu memperoleh
dana hibah dari pemerintah, mereka akan membebankan sepenuhnya biaya pendidikan
kepada peserta didik, karena itu jalan termudah.
"Ke depan, yang kuliah di perguruan tinggi terbaik seperti Unpad, ITB, dan UI
mungkin hanya masyarakat menengah ke atas. Mereka yang tidak mampu tidak akan
sanggup lagi mengenyam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi pun lebih memilih menjual
kursi melalui jalur khusus daripada membuka lebar jalur seleksi nasional untuk bisa
bertahan. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang tidak mampu bertahan dengan
sendirinya akan hilang, termasuk lembaga pendidikan gurem yang selama ini sulit
untuk ditertibkan," ungkapnya.
Swasta tak dibahas
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jabar dan Banten sekaligus
Rektor Universitas Pasundan, Prof. Didi Turmudzi, mendesak segera dibuat peraturan
pemerintah (PP) untuk mencari jalan keluar dari kekosongan yang ada pada UU BHP.
Dia mengatakan, perguruan tinggi swasta sudah diposisikan untuk tidak bisa
berkembang dan bersaing dengan perguruan tinggi negeri karena tidak ada satu pasal
pun yang terkait dengan pembiayaan perguruan tinggi swasta di UU BHP.
"BHP itu merangsang setiap perguruan tinggi untuk menyerap dana yang besar dari
masyarakat dan ini menyebabkan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi bagi
kalangan ekonomi lemah menjadi semakin kecil," katanya.
Rektor Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Rully Indrawan juga menganggap
perlu segera dibuat PP BHP. Namun, menurut dia, permasalahannya adalah Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang dibuat tahun 2003 sampai saat ini belum dibuat
PP-nya.
Menurut Rully, sebenarnya ada pihak yang secara tidak langsung dirugikan dalam
penyelenggaraan UU BHP tersebut, yaitu yayasan perguruan tinggi swasta. Dia
menuturkan, yayasan tersebut sebelumnya berperan untuk menyediakan dana bagi
penyelenggaraan pendidikan.
Namun, saat ini yayasan harus menyerahkan manajemen perguruan tinggi kepada Majelis
Wali Amanah yang terdiri atas unsur lain seperti rektor. Hal itu juga berlakukan
pada aset perguruan tinggi yang sebelumnya dipegang yayasan menjadi milik BHP.
"Padahal, merekalah yang sebelumnya mendirikan perguruan tinggi tersebut," ucapnya.
Sementara itu, dalam seminar "BHP Sebagai Solusi Pendidikan Indonesia atau Bukan?"
yang digagas Keluarga Mahasiswa (KM) ITB diungkap empat poin penting dalam UU BHP
yang perlu ditinjau ulang. Pertama, reduksi peranan pemerintah dalam pendanaan BHP.
Terdapat ketidakjelasan besaran proporsi pemerintah dan institusi pendidikan dalam
menanggung biaya pendidikan.
Kedua, otonomisasi kurikulum yang tidak jelas dalam UU BHP. Ketiga, superioritas
pada organ representasi pemangku kepentingan. BHP menempatkan organ representasi
kepentingan sebagai organ tertinggi yang memiliki akses dan kewenangan yang penuh.
Keempat, analogi BHP dengan perusahaan. "Bentuk BHP ini memungkinkan suatu institusi
pendidikan mengalami pembubaran manakala terjadi pailit," kata anggota Kajian
Strategis KM ITB Yuniarti di depan peserta seminar.
Yuniarti menyatakan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena institusi pendidikan
tidak boleh tutup. Sebab, pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas
SDM bangsa dan berpengaruh terhadap kemajuan bangsa.
Bertahap
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bidang pendidikan, agama, dan kesehatan, Prof.
Dr. H. M. Surya mengemukakan, UU BHP bisa memunculkan komersialisasi pendidikan.
Untuk itu, perlu aturan lebih tegas dalam PP yang bisa menekan komersialisasi
pendidikan.
"Dalam UU BHP salah satunya disebutkan lembaga pendidikan masih bisa memungut dana
dari masyarakat yakni sepertiga dari biaya penyelenggaraan pendidikan. Ini bisa
menjadi jalan bagi lembaga pendidikan untuk memungut dana yang nantinya memberatkan
masyarakat," kata Surya di sela-sela kunjungan kerjanya ke RSUD Al Ihsan Baleendah,
Kab. Bandung, Kamis (18/12).
Menurut Surya, hadirnya UU BHP untuk lebih menertibkan lembaga pendidikan yang
meliputi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. "Untuk sementara waktu, kami
berharap agar UU BHP berlaku dulu di pendidikan tinggi, karena fokus pendidikan
dasar pada pencapaian wajib pendidikan 9 tahun," ucapnya.
Untuk menghindari pro dan kontra yang makin tajam, Surya yang juga guru besar UPI
Bandung, mengusulkan agar pemerintah memberlakukan UU BHP secara bertahap. "Jangan
main kemplang, semua lembaga pendidikan harus menerapkan UU BHP. Perlu waktu dan
kesabaran," ujarnya. (A-71/A-157/A-184/A-185/A-187)****
sumber :http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48922
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
Mahasiswa Tolak RUU BHP
DIPONEGORO,(GM)-
Dua kelompok mahasiswa berunjuk rasa menolak rancangan undang-undang badan hukum
pendidikan (RUU BHP) di Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Rabu (17/12). Namun,
aksi unjuk rasa dilakukan secara terpisah, di tempat yang tidak berjauhan.
Kelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Cabang Bandung berunjuk
rasa di mulut pintu gerbang sebelah barat Gedung Sate. Sedangkan kelompok mahasiswa
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) berunjuk rasa di pinggir jalan, tepat di depan mulut
pintu gerbang barat Gedung Sate.
Kedua kelompok mahasiswa itu sama-sama bersikap menentang RUU BHP, yang tengah
dibahas DPR RI. Mereka melakukan orasi, di tempat yang tidak berjauhan, menentang
RUU tersebut. Aksi dorong-dorongan sempat terjadi antara aparat kepolisian dan
mahasiswa HMI, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan massa BEM Bandung Raya.
Dalam orasinya, salah seorang pengunjuk rasa, Dikdik menyatakan, pendidikan akan
semakin tidak terjangkau oleh rakyat, terlebih lagi ketika RUU BHP disahkan. Dengan
undang-undang itu, pendidikan malah akan menjadi bidang usaha yang terbuka untuk
investasi asing maupun domestik. "Dengan konsep otonomi, lembaga pendidikan nantinya
akan sangat bebas menentukan kebijakan dan pengelolaan keuangan sesuai dengan
kepentingan stake holder," kata Dikdik.
Pengunjuk rasa diterima anggota Komisi E DPRD Jabar, Marwan Effendi. Anggota dewan
dari Fraksi Golkar ini menyatakan dukungannya kepada mahasiswa dalam menentang RUU
BHP. "Di Jakarta RUU ini mungkin disahkan hari ini. Namun perjuangan harus tetap
disuarakan," katanya.
Tak hanya di Gedung Sate, unjuk rasa penolakan terhadap badan hukum pendidikan (BHP)
pun digelar di Unpad. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung
dalam Komite Aksi Tolak BHP melakukan penolakannya terhadap BHP dengan mengelilingi
Kampus Unpad, Jln. Dipati Ukur, Rabu (17/12).
Menurut koordinator aksi, Cepi, BHP merupakan kebijakan yang mengharuskan lembaga
pendidikan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan secara mandiri atau otonom.
Perguruan tinggi harus mencari pendanaan sendiri atau peserta didik mendapat 2/3
beban keuangan. Melihat hal tersebut, komite menolak BHP dan segala bentuk
komersialisasi pendidikan dan menuntut terwujudnya sistem pendidikan nasional yang
ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.
Meski rencananya RUU BHP akan disahkan Rabu (17/12), Rektor Unpad, Prof. Dr. Ganjar
Kurnia mengatakan Unpad masih akan berstatus BLU (badan layanan umum) hingga 6 tahun
ke depan sesuai masa transisi BHP. Pertimbangannya, karena Unpad baru mendapatkan SK
BLU 15 September 2008 dan belum diaplikasikan. "Kita manfaatkan transisi
Undang-undang BHP dengan melakukan pengelolan BLU karena untuk perubahan kelembagaan
ini kita harus siapakan institusi, SDM, dan selama 6 tahun masa transisi ini akan
kita siapkan itu," ujar Ganjar pada wartawan kemarin.
Dikatakannya, dengan BHP, lembaga pendidikan memiliki otonomi dalam bidang
pendidikan dan keuangan. Sementara BLU hanya otonom dalam keuangan dan pendidikan
masih mengacu pada dikti. "Enggak perlu khawatir karena Undang-undang BHP ini ada
rambu-rambu. Meski otonom, keuangan diserahkan ke kampus, tidak serta merta kampus
bebas menarik uang dari masyarakat," tutur Ganjar sambil menambahkan, 2/3 biaya
masih ditanggung pemerintah. (B.83/B.95)**
sumber http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Dua kelompok mahasiswa berunjuk rasa menolak rancangan undang-undang badan hukum
pendidikan (RUU BHP) di Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Rabu (17/12). Namun,
aksi unjuk rasa dilakukan secara terpisah, di tempat yang tidak berjauhan.
Kelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Cabang Bandung berunjuk
rasa di mulut pintu gerbang sebelah barat Gedung Sate. Sedangkan kelompok mahasiswa
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) berunjuk rasa di pinggir jalan, tepat di depan mulut
pintu gerbang barat Gedung Sate.
Kedua kelompok mahasiswa itu sama-sama bersikap menentang RUU BHP, yang tengah
dibahas DPR RI. Mereka melakukan orasi, di tempat yang tidak berjauhan, menentang
RUU tersebut. Aksi dorong-dorongan sempat terjadi antara aparat kepolisian dan
mahasiswa HMI, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan massa BEM Bandung Raya.
Dalam orasinya, salah seorang pengunjuk rasa, Dikdik menyatakan, pendidikan akan
semakin tidak terjangkau oleh rakyat, terlebih lagi ketika RUU BHP disahkan. Dengan
undang-undang itu, pendidikan malah akan menjadi bidang usaha yang terbuka untuk
investasi asing maupun domestik. "Dengan konsep otonomi, lembaga pendidikan nantinya
akan sangat bebas menentukan kebijakan dan pengelolaan keuangan sesuai dengan
kepentingan stake holder," kata Dikdik.
Pengunjuk rasa diterima anggota Komisi E DPRD Jabar, Marwan Effendi. Anggota dewan
dari Fraksi Golkar ini menyatakan dukungannya kepada mahasiswa dalam menentang RUU
BHP. "Di Jakarta RUU ini mungkin disahkan hari ini. Namun perjuangan harus tetap
disuarakan," katanya.
Tak hanya di Gedung Sate, unjuk rasa penolakan terhadap badan hukum pendidikan (BHP)
pun digelar di Unpad. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung
dalam Komite Aksi Tolak BHP melakukan penolakannya terhadap BHP dengan mengelilingi
Kampus Unpad, Jln. Dipati Ukur, Rabu (17/12).
Menurut koordinator aksi, Cepi, BHP merupakan kebijakan yang mengharuskan lembaga
pendidikan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan secara mandiri atau otonom.
Perguruan tinggi harus mencari pendanaan sendiri atau peserta didik mendapat 2/3
beban keuangan. Melihat hal tersebut, komite menolak BHP dan segala bentuk
komersialisasi pendidikan dan menuntut terwujudnya sistem pendidikan nasional yang
ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.
Meski rencananya RUU BHP akan disahkan Rabu (17/12), Rektor Unpad, Prof. Dr. Ganjar
Kurnia mengatakan Unpad masih akan berstatus BLU (badan layanan umum) hingga 6 tahun
ke depan sesuai masa transisi BHP. Pertimbangannya, karena Unpad baru mendapatkan SK
BLU 15 September 2008 dan belum diaplikasikan. "Kita manfaatkan transisi
Undang-undang BHP dengan melakukan pengelolan BLU karena untuk perubahan kelembagaan
ini kita harus siapakan institusi, SDM, dan selama 6 tahun masa transisi ini akan
kita siapkan itu," ujar Ganjar pada wartawan kemarin.
Dikatakannya, dengan BHP, lembaga pendidikan memiliki otonomi dalam bidang
pendidikan dan keuangan. Sementara BLU hanya otonom dalam keuangan dan pendidikan
masih mengacu pada dikti. "Enggak perlu khawatir karena Undang-undang BHP ini ada
rambu-rambu. Meski otonom, keuangan diserahkan ke kampus, tidak serta merta kampus
bebas menarik uang dari masyarakat," tutur Ganjar sambil menambahkan, 2/3 biaya
masih ditanggung pemerintah. (B.83/B.95)**
sumber http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?idkolom=opinipendidikan
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
RUU BHP Disahkan, Kopertis Ganti Nama
BANDUNG, (PR).-
Pascadisahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), keberadaan Koordinasi Perguruan
Tinggi Swasta (Kopertis) tetap akan dipertahankan, hanya akan berubah namanya
menjadi Koordinasi Perguruan Tinggi Sewilayah.
Hal itu dikatakan Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat (Jabar)-Banten Prof.
Dr. Rochim Suratman di kantornya Jln. P.H.H. Mustofa N0. 38 Kota Bandung, Rabu
(17/12).
"Sebelumnya memang ada wacana Kopertis akan bubar apabila RUU BHP disahkan. Karena
dalam RUU tersebut, tidak ada dikotomi antara perguruan tinggi swasta dan perguruan
tinggi negeri," katanya.
Namun berdasarkan angket yang didistribusikan Dirjen Dikti ke daerah, dia
mengatakan, keberadaan Kopertis masih dibutuhkan oleh perguruan tinggi tersebut.
"Karena perguruan tinggi di daerah akan memerlukan banyak waktu dan biaya apabila
harus mengurus perizinan dan lain sebagainya langsung ke pusat," ujarnya.
Menurut dia, perubahan nama tersebut juga diikuti dengan perbedaan tugas pokok dan
fungsi dari Kopertis.
"Rencana perubahan tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional tentang Koordinasi Tugas Kerja Koordinasi Perguruan Tinggi Sewilayah.
Tinggal ditandatangani menteri,’ ujarnya.
Dengan perubahan nama tersebut, dia mengatakan, Koordinasi Perguruan Tinggi
Sewilayah--yang juga akan disingkat menjadi Kopertis--akan memiliki kewenangan untuk
mengurus jabatan fungsional akademik sampai dengan tingkat rektor. Kopertis juga
akan diberi pelimpahan wewenang untuk menandatangani perpanjangan izin program
studi. Menurut Rochim, sebelumnya hal itu merupakan tugas dan wewenang Direktorat
Akademik Dirjen Dikti.
Perubahan tersebut akan menyebabkan Kopertis seyogianya tidak hanya mengoordinasikan
perguruan tinggi swasta, namun juga negeri. "Oleh karena itu seharusnya perguruan
tinggi yang sebelumnya negeri juga akan berada di bawah pembinaan Kopertis nanti,"
ujarnya. (A-185)***
sumber :http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48642
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Pascadisahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), keberadaan Koordinasi Perguruan
Tinggi Swasta (Kopertis) tetap akan dipertahankan, hanya akan berubah namanya
menjadi Koordinasi Perguruan Tinggi Sewilayah.
Hal itu dikatakan Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat (Jabar)-Banten Prof.
Dr. Rochim Suratman di kantornya Jln. P.H.H. Mustofa N0. 38 Kota Bandung, Rabu
(17/12).
"Sebelumnya memang ada wacana Kopertis akan bubar apabila RUU BHP disahkan. Karena
dalam RUU tersebut, tidak ada dikotomi antara perguruan tinggi swasta dan perguruan
tinggi negeri," katanya.
Namun berdasarkan angket yang didistribusikan Dirjen Dikti ke daerah, dia
mengatakan, keberadaan Kopertis masih dibutuhkan oleh perguruan tinggi tersebut.
"Karena perguruan tinggi di daerah akan memerlukan banyak waktu dan biaya apabila
harus mengurus perizinan dan lain sebagainya langsung ke pusat," ujarnya.
Menurut dia, perubahan nama tersebut juga diikuti dengan perbedaan tugas pokok dan
fungsi dari Kopertis.
"Rencana perubahan tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional tentang Koordinasi Tugas Kerja Koordinasi Perguruan Tinggi Sewilayah.
Tinggal ditandatangani menteri,’ ujarnya.
Dengan perubahan nama tersebut, dia mengatakan, Koordinasi Perguruan Tinggi
Sewilayah--yang juga akan disingkat menjadi Kopertis--akan memiliki kewenangan untuk
mengurus jabatan fungsional akademik sampai dengan tingkat rektor. Kopertis juga
akan diberi pelimpahan wewenang untuk menandatangani perpanjangan izin program
studi. Menurut Rochim, sebelumnya hal itu merupakan tugas dan wewenang Direktorat
Akademik Dirjen Dikti.
Perubahan tersebut akan menyebabkan Kopertis seyogianya tidak hanya mengoordinasikan
perguruan tinggi swasta, namun juga negeri. "Oleh karena itu seharusnya perguruan
tinggi yang sebelumnya negeri juga akan berada di bawah pembinaan Kopertis nanti,"
ujarnya. (A-185)***
sumber :http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48642
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
UU BHP Mendapat Penolakan
JAKARTA(SINDO) — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) kemarin. Pengesahan berlangsung di
tengah aksi unjuk rasa mahasiswa yang bahkan sempat masuk ke ruang sidang.
Sebelum RUU disahkan,sekitar 20 mahasiswa dari Universitas Indonesia masuk ke ruang
sidang paripurna. Dari arah balkon para mahasiswa berteriak,” Interupsi
ketua.”Sidang sempat terhenti 10 menit ketika lebih dari 20 petugas keamanan dalam
Gedung DPR mendorong mahasiswa keluar.
Mahasiswa menolak keluar sambil terus berpegangan pada besi pembatas balkon. Selain
di dalam ruang sidang, aksi unjuk rasa mahasiswa juga terjadi di pintu gerbang depan
dan belakang Gedung DPR, Senayan, Jakarta.Ketua BEM UI Edwin Nafsa Naufal menuding
pengesahan RUU BHP sebagai tanda yang jelas bahwa para wakil rakyat telah
mengkhianati mahasiswa.
”Kami memang sempat diajak berdialog,tapi ketika itu deadlock dan belum ada
kesepakatan. Bahkan janji untuk mempertimbangkan pendapat kami tidak mereka
penuhi,’’ katanya. Hanif, salah satu mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang mengikuti aksi,menyatakan UU BHP dikhawatirkan mereduksi peran pemerintah
dalam pendanaan pendidikan.
”Proporsi pemerintah dan BHP belum eksplisit dalam pendanaan,” katanya. Sikap
keberatan terhadap RUU BHP yang sudah disahkan tidak hanya disuarakan
mahasiswa.Forum Rektor Indonesia mendesak DPR tidak terlalu memaksakan pengesahan
rancangan tersebut.
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid melihat ada beberapa substansi dalam
isi undangundang yang harus dihilangkan, misalnya kemungkinan terjadinya
komersialisasi pendidikan. Dia menambahkan, ketika pemodal asing menanamkan
sahamnya, diharapkan pemerintah tidak lepas tangan sehingga justru nantinya sebagian
besar saham pendidikan Indonesia dimiliki asing.
Selain itu dia juga berharap agar setelah rancangan ini disahkan tidak akan ada lagi
dikotomi dan diskriminasi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi
swasta (PTS). ”Soal pendanaan saja masih ada pembedaan,”tutur Edy,Rektor
Universitas Islam Indonesia.
Walau demikian, dia melihat isi undang-undang tersebut ada yang bermanfaat, seperti
mendorong kemandirian PTN/PTS serta terbukanya kompetisi perguruan tinggi. Majelis
Luhur Tamansiswa (MLT) juga dengan tegas menolak pengesahan RUU BHP menjadi
undangundang. Ketua III MKLT Ki Wuryadi mengatakan, undang-undang tersebut merupakan
persolan strategis dalam pendidikan nasional.
Karena itu perlu dibahas secara komprehensif dengan berbagai kajian. ”Apalagi
dalam undangundang tersebut ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak dijadikan dasar,
”tunjuknya. Undang-undang itu juga menghilangkan potensi dan mengabaikan ideologi
pendidikan nasional serta memberikan penetrasi kepentingan asing secara sistematis.
”Asing pun nantinya bisa menanamkan modalnya hingga 49%,”kata Wuryadi.
Pengesahan
Sidang pengesahan RUU BHP menjadi undangundang kemarin dipimpin Wakil Ketua DPR
Muhaimin Iskandar, diawali dengan pandangan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi.
”Sebenarnya RUU ini sudah baik, namun tidak bisa memuaskan semua orang. Peraturan
politik inilah hasil maksimal yang bisa dicapai,” kata Heri.
RUU ini disetujui oleh semua fraksi di DPR.Anggota Komisi X Anwar Arifi, mewakili
Fraksi Golkar, menyatakan otonomi dalam pendidikan formal hanya dapat dilakukan jika
pendidikan formal dapat mengelola dana secara mandiri. Fraksi Golkar menilai
undang-undang itu telah memberikan panduan yang jelas terkait tanggung jawab negara
dan tanggung jawab pengelola satuan pendidikan.
Undang-undang ini disebut Anwar juga sangat berpihak kepada peserta didik dan
menerapkan sanksi kepada satuan pendidikan yang tidak mengelola BHP sesuai
ketentuan. ”Sanksinya bisa sampai pencabutan izin operasi,” katanya. Anggota
Fraksi Amanat Nasional, Ade Firdaus, menyatakan fraksinya mendukung pengesahan
rancangan UU ini.
Namun, dia meminta pemerintah pusat dan daerah bersedia menanggung dua pertiga dari
biaya operasional pendidikan dalam implementasinya. Ketua Komisi X Irwan Prayitno
menyatakan tidak mengerti mengapa mahasiswa menolak pengesahan undang-undang ini.
”Kemarin saya sudah bertemu empat orang mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa
UI dan mereka terlihat mengerti,”katanya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyata-kan tindakan
mahasiswa merupakan bukti masyarakat berdemokrasi.
”Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Mereka terlihat mengerti,”
ujarnya. Fasli mengatakan, di tingkat pendidikan tinggi dan menengah pun peserta
didik hanya menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional. ”Dan biaya
operasional itu kan 80% adalah gaji, jadi saya pikir sudah kecil sekali biaya yang
akan mereka bayar,” katanya.
Fasli juga menilai RUU BHP tidak kurang sosialisasi.”Memang kadang-kadang bahasa
hukum tidak seterang ungkapan langsung sehari-hari,” katanya. Sementara itu,
sejumlah pakar pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan dan
organisasi guru berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas
pengesahan UU BHP.
Guru besar emeritus dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar menilai,
undang-undang ini merupakan salah satu agenda terselubung pemerintah untuk
melepaskan tanggung jawab dalam sektor pendidikan seperti yang tecermin dari
pelaksanaan badan hukum milik negara (BHMN) yang merupakan embrio BHP.
”Kenyataannya, perguruan tinggi dengan status BHMN tidak maksimal menjaring calon
mahasiswa kurang mampu, sekaligus memungut dana masyarakat secara berlebihan,
”katanya. Menurut Tilaar, meski dalam draf BHP ada kewajiban perguruan tinggi
menjaring mahasiswa kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan pendidikan bermutu,
implementasinya pasti tidak dilaksanakan.
”Ini hanya akal-akalan,”tudingnya. Dia mengatakan, BHP bukanlah hal penting
karena masih banyak masalah fundamental di bidang pendidikan yang seharusnya lebih
mendapatkan perhatian pemerintah. ”Aturan itu bisa saja bagus di atas kertas,
tetapi siapa yang akan melakukan kontrol jika aturan itu diterapkan?
Tanpa menghilangkan makna BHP bagi pemerintah, kita bisa katakan bahwa ada hal yang
lebih penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah,” kata Tilaar. Manajer Divisi
Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan
bahwa produk hukum UU BHP prematur.
Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik,
karena tidak pernah terwujud. ”Bahkan otonomi pendidikan dijadikan tameng untuk
memungut sebesar-besarnya dana masyarakat,”tuturnya.
Di tempat terpisah,Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB
PGRI) Sulistiyo mengemukakan organisasinya bisa memahami pengesahan UU BHP karena
sudah termaktub dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
” Itu (BHP) kan perintah UU Sisdiknas,”katanya. Namun, dalam waktu dekat PGRI
juga akan melakukan kajian mengenai pasal-pasal dan muatan yang terkandung dalam
produk hukum tersebut. ”Kami mengundang sejumlah pakar pendidikan untuk
menganalisis UU BHP. Setelah itu kami akan menentukan sikap. Bisa saja sikap kami
menolak,”katanya. (rendra hanggara/ nugroho purbohandoyo)
sumber ;http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197039/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) kemarin. Pengesahan berlangsung di
tengah aksi unjuk rasa mahasiswa yang bahkan sempat masuk ke ruang sidang.
Sebelum RUU disahkan,sekitar 20 mahasiswa dari Universitas Indonesia masuk ke ruang
sidang paripurna. Dari arah balkon para mahasiswa berteriak,” Interupsi
ketua.”Sidang sempat terhenti 10 menit ketika lebih dari 20 petugas keamanan dalam
Gedung DPR mendorong mahasiswa keluar.
Mahasiswa menolak keluar sambil terus berpegangan pada besi pembatas balkon. Selain
di dalam ruang sidang, aksi unjuk rasa mahasiswa juga terjadi di pintu gerbang depan
dan belakang Gedung DPR, Senayan, Jakarta.Ketua BEM UI Edwin Nafsa Naufal menuding
pengesahan RUU BHP sebagai tanda yang jelas bahwa para wakil rakyat telah
mengkhianati mahasiswa.
”Kami memang sempat diajak berdialog,tapi ketika itu deadlock dan belum ada
kesepakatan. Bahkan janji untuk mempertimbangkan pendapat kami tidak mereka
penuhi,’’ katanya. Hanif, salah satu mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang mengikuti aksi,menyatakan UU BHP dikhawatirkan mereduksi peran pemerintah
dalam pendanaan pendidikan.
”Proporsi pemerintah dan BHP belum eksplisit dalam pendanaan,” katanya. Sikap
keberatan terhadap RUU BHP yang sudah disahkan tidak hanya disuarakan
mahasiswa.Forum Rektor Indonesia mendesak DPR tidak terlalu memaksakan pengesahan
rancangan tersebut.
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid melihat ada beberapa substansi dalam
isi undangundang yang harus dihilangkan, misalnya kemungkinan terjadinya
komersialisasi pendidikan. Dia menambahkan, ketika pemodal asing menanamkan
sahamnya, diharapkan pemerintah tidak lepas tangan sehingga justru nantinya sebagian
besar saham pendidikan Indonesia dimiliki asing.
Selain itu dia juga berharap agar setelah rancangan ini disahkan tidak akan ada lagi
dikotomi dan diskriminasi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi
swasta (PTS). ”Soal pendanaan saja masih ada pembedaan,”tutur Edy,Rektor
Universitas Islam Indonesia.
Walau demikian, dia melihat isi undang-undang tersebut ada yang bermanfaat, seperti
mendorong kemandirian PTN/PTS serta terbukanya kompetisi perguruan tinggi. Majelis
Luhur Tamansiswa (MLT) juga dengan tegas menolak pengesahan RUU BHP menjadi
undangundang. Ketua III MKLT Ki Wuryadi mengatakan, undang-undang tersebut merupakan
persolan strategis dalam pendidikan nasional.
Karena itu perlu dibahas secara komprehensif dengan berbagai kajian. ”Apalagi
dalam undangundang tersebut ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak dijadikan dasar,
”tunjuknya. Undang-undang itu juga menghilangkan potensi dan mengabaikan ideologi
pendidikan nasional serta memberikan penetrasi kepentingan asing secara sistematis.
”Asing pun nantinya bisa menanamkan modalnya hingga 49%,”kata Wuryadi.
Pengesahan
Sidang pengesahan RUU BHP menjadi undangundang kemarin dipimpin Wakil Ketua DPR
Muhaimin Iskandar, diawali dengan pandangan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi.
”Sebenarnya RUU ini sudah baik, namun tidak bisa memuaskan semua orang. Peraturan
politik inilah hasil maksimal yang bisa dicapai,” kata Heri.
RUU ini disetujui oleh semua fraksi di DPR.Anggota Komisi X Anwar Arifi, mewakili
Fraksi Golkar, menyatakan otonomi dalam pendidikan formal hanya dapat dilakukan jika
pendidikan formal dapat mengelola dana secara mandiri. Fraksi Golkar menilai
undang-undang itu telah memberikan panduan yang jelas terkait tanggung jawab negara
dan tanggung jawab pengelola satuan pendidikan.
Undang-undang ini disebut Anwar juga sangat berpihak kepada peserta didik dan
menerapkan sanksi kepada satuan pendidikan yang tidak mengelola BHP sesuai
ketentuan. ”Sanksinya bisa sampai pencabutan izin operasi,” katanya. Anggota
Fraksi Amanat Nasional, Ade Firdaus, menyatakan fraksinya mendukung pengesahan
rancangan UU ini.
Namun, dia meminta pemerintah pusat dan daerah bersedia menanggung dua pertiga dari
biaya operasional pendidikan dalam implementasinya. Ketua Komisi X Irwan Prayitno
menyatakan tidak mengerti mengapa mahasiswa menolak pengesahan undang-undang ini.
”Kemarin saya sudah bertemu empat orang mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa
UI dan mereka terlihat mengerti,”katanya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyata-kan tindakan
mahasiswa merupakan bukti masyarakat berdemokrasi.
”Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Mereka terlihat mengerti,”
ujarnya. Fasli mengatakan, di tingkat pendidikan tinggi dan menengah pun peserta
didik hanya menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional. ”Dan biaya
operasional itu kan 80% adalah gaji, jadi saya pikir sudah kecil sekali biaya yang
akan mereka bayar,” katanya.
Fasli juga menilai RUU BHP tidak kurang sosialisasi.”Memang kadang-kadang bahasa
hukum tidak seterang ungkapan langsung sehari-hari,” katanya. Sementara itu,
sejumlah pakar pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan dan
organisasi guru berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas
pengesahan UU BHP.
Guru besar emeritus dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar menilai,
undang-undang ini merupakan salah satu agenda terselubung pemerintah untuk
melepaskan tanggung jawab dalam sektor pendidikan seperti yang tecermin dari
pelaksanaan badan hukum milik negara (BHMN) yang merupakan embrio BHP.
”Kenyataannya, perguruan tinggi dengan status BHMN tidak maksimal menjaring calon
mahasiswa kurang mampu, sekaligus memungut dana masyarakat secara berlebihan,
”katanya. Menurut Tilaar, meski dalam draf BHP ada kewajiban perguruan tinggi
menjaring mahasiswa kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan pendidikan bermutu,
implementasinya pasti tidak dilaksanakan.
”Ini hanya akal-akalan,”tudingnya. Dia mengatakan, BHP bukanlah hal penting
karena masih banyak masalah fundamental di bidang pendidikan yang seharusnya lebih
mendapatkan perhatian pemerintah. ”Aturan itu bisa saja bagus di atas kertas,
tetapi siapa yang akan melakukan kontrol jika aturan itu diterapkan?
Tanpa menghilangkan makna BHP bagi pemerintah, kita bisa katakan bahwa ada hal yang
lebih penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah,” kata Tilaar. Manajer Divisi
Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan
bahwa produk hukum UU BHP prematur.
Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik,
karena tidak pernah terwujud. ”Bahkan otonomi pendidikan dijadikan tameng untuk
memungut sebesar-besarnya dana masyarakat,”tuturnya.
Di tempat terpisah,Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB
PGRI) Sulistiyo mengemukakan organisasinya bisa memahami pengesahan UU BHP karena
sudah termaktub dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
” Itu (BHP) kan perintah UU Sisdiknas,”katanya. Namun, dalam waktu dekat PGRI
juga akan melakukan kajian mengenai pasal-pasal dan muatan yang terkandung dalam
produk hukum tersebut. ”Kami mengundang sejumlah pakar pendidikan untuk
menganalisis UU BHP. Setelah itu kami akan menentukan sikap. Bisa saja sikap kami
menolak,”katanya. (rendra hanggara/ nugroho purbohandoyo)
sumber ;http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197039/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Label:
pendidikan,
perguruan tinggi,
ptn,
pts,
uu bhp
RUU BHP Disahkan
Jakarta, Kompas - Sidang Paripurna DPR tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang di DPR, Jakarta, Rabu (17/12),
berlangsung ricuh. Peristiwa itu dipicu penolakan mahasiswa yang ikut menghadiri
sidang.
Kericuhan dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu
berlangsung saat acara pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR. Penolakan
yang diserukan mahasiswa dalam ruang sidang itu membuat petugas dalam (pamdal) DPR
mengamankan mahasiswa.
Para mahasiswa pun dengan paksa digiring petugas pamdal ke luar ruang sidang. Sempat
terjadi saling dorong dan pukul antara pamdal dan mahasiswa.
Di depan Gedung Nusantara II, puluhan mahasiswa Universitas Indonesia membentuk
lingkaran dan memaksa masuk kembali dan akhirnya saling dorong dengan polisi.
Sejumlah mahasiswa terdengar menjerit dan menangis sambil menyuarakan penolakan
pengesahan UU BHP. Unjuk rasa para mahasiswa di dalam halaman dan di luar pagar
Gedung DPR itu berlangsung hingga sore hari.
Mahasiswa menilai pengesahan RUU BHP menjadi UU merupakan upaya komersialisasi
pendidikan. Akibatnya, pendidikan akan semakin mahal dan membebani masyarakat,
terutama dari kalangan tidak mampu.
Mahasiswa juga memprotes ketentuan dalam UU BHP soal pembubaran badan hukum
pendidikan, yang salah satunya karena dinyatakan pailit. Ini dinilai sebagai bukti
sekolah akan dikelola seperti perusahaan.
Sementara itu, Aliansi Rakyat Tolak BHP menolak dengan alasan UU BHP menggunakan
pendekatan ekonomi pasar bebas yang menganalogikan pendidikan sebagai komoditas
ekonomi. Pemerintah dinilai hendak melepaskan tanggung jawab untuk memenuhi hak
warga negara atas pendidikan.
Melindungi masyarakat
Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno membantah anggapan, UU BHP akan membuat pendidikan
di Indonesia menjadi semakin tidak terjangkau. Peraturan ini justru diyakini bisa
memberi perlindungan pada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang
tinggi.
Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, seusai sidang,
mengatakan, masyarakat harus memahami semangat penyusunan BHP. Soal pendanaan
pendidikan, justru pemerintah dituntut berperan besar.
”Pemahaman yang keliru ini mungkin karena masyarakat melihat praktik di perguruan
tinggi badan hukum milik negara (BHMN), yang biaya kuliahnya jadi mahal. Di UU BHP
ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya
operasional,” ujar Fasli.
Adapun untuk warga tidak mampu, kata Fasli, justru semakin terlindungi. Ada
kewajiban dari BHP dan pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya
pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan
kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Wilayah Jabar-Banten
Didi Turmudzi, Rabu (17/12), menyesalkan tergesa-gesanya pengesahan UU BHP tanpa
berusaha menyelesaikan lebih dahulu polemik yang muncul di permukaan. Substansi UU
BHP, di dalam implementasinya, bisa menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan.
(ELN/JON)
sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/18/01011617/ruu.bhp.disahkan
Kamis, 18 Desember 2008 | 03:00 WIB
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang di DPR, Jakarta, Rabu (17/12),
berlangsung ricuh. Peristiwa itu dipicu penolakan mahasiswa yang ikut menghadiri
sidang.
Kericuhan dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu
berlangsung saat acara pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR. Penolakan
yang diserukan mahasiswa dalam ruang sidang itu membuat petugas dalam (pamdal) DPR
mengamankan mahasiswa.
Para mahasiswa pun dengan paksa digiring petugas pamdal ke luar ruang sidang. Sempat
terjadi saling dorong dan pukul antara pamdal dan mahasiswa.
Di depan Gedung Nusantara II, puluhan mahasiswa Universitas Indonesia membentuk
lingkaran dan memaksa masuk kembali dan akhirnya saling dorong dengan polisi.
Sejumlah mahasiswa terdengar menjerit dan menangis sambil menyuarakan penolakan
pengesahan UU BHP. Unjuk rasa para mahasiswa di dalam halaman dan di luar pagar
Gedung DPR itu berlangsung hingga sore hari.
Mahasiswa menilai pengesahan RUU BHP menjadi UU merupakan upaya komersialisasi
pendidikan. Akibatnya, pendidikan akan semakin mahal dan membebani masyarakat,
terutama dari kalangan tidak mampu.
Mahasiswa juga memprotes ketentuan dalam UU BHP soal pembubaran badan hukum
pendidikan, yang salah satunya karena dinyatakan pailit. Ini dinilai sebagai bukti
sekolah akan dikelola seperti perusahaan.
Sementara itu, Aliansi Rakyat Tolak BHP menolak dengan alasan UU BHP menggunakan
pendekatan ekonomi pasar bebas yang menganalogikan pendidikan sebagai komoditas
ekonomi. Pemerintah dinilai hendak melepaskan tanggung jawab untuk memenuhi hak
warga negara atas pendidikan.
Melindungi masyarakat
Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno membantah anggapan, UU BHP akan membuat pendidikan
di Indonesia menjadi semakin tidak terjangkau. Peraturan ini justru diyakini bisa
memberi perlindungan pada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang
tinggi.
Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, seusai sidang,
mengatakan, masyarakat harus memahami semangat penyusunan BHP. Soal pendanaan
pendidikan, justru pemerintah dituntut berperan besar.
”Pemahaman yang keliru ini mungkin karena masyarakat melihat praktik di perguruan
tinggi badan hukum milik negara (BHMN), yang biaya kuliahnya jadi mahal. Di UU BHP
ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya
operasional,” ujar Fasli.
Adapun untuk warga tidak mampu, kata Fasli, justru semakin terlindungi. Ada
kewajiban dari BHP dan pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya
pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan
kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Wilayah Jabar-Banten
Didi Turmudzi, Rabu (17/12), menyesalkan tergesa-gesanya pengesahan UU BHP tanpa
berusaha menyelesaikan lebih dahulu polemik yang muncul di permukaan. Substansi UU
BHP, di dalam implementasinya, bisa menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan.
(ELN/JON)
sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/18/01011617/ruu.bhp.disahkan
Kamis, 18 Desember 2008 | 03:00 WIB
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Rabu, 10 Desember 2008
Tips Bangun Rumah 1 (Persiapan)
Bangun Rumah, apa yang ada di benak kita, ketika terfikir bangun rumah...., mungkin yang kita fikirkan hanyalah money, money dan money. Betulkah ? Ada betul ngganya sih, memang bangun rumah butuh money, tapi banyak hal yang perlu diperhatikan selain money. Desain, bahan bangunan, pekerja, lama pembangunan, tipe rumah, lokasi, dll.Memang terkesan dengan banyaknya uang, maka semuanya jadi mudah..., betul ? tentu tidak sepenuhnya betul. Karena hal ini akan mempengaruhi terhadap daya konsumsi dan selera. Disini kita tidak akan membahas masalah money. Tapi lebih pada perencanaan yang lain.
"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", al hadist. Imam Ali Bin Abi Thalib pernah berkata,kurang lebih seperti ini, "Saya tidak bisa ditipu karena saya tahu ilmu menipu", beranjak dari sana sebelum kita membangun rumah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu, gimana sih bangun rumah ? apa aja sih yang perlu dipersiapkan? Nah.. berdasarkan pengalaman saya. Saya akan berbagi bagaimana persiapan bangun rumah.
1.Mencari lingkungan yang baik
ada doa yang kurang lebih bunyinya "Ya Allah jauhkanlah aku dari tetangga yang jahat", ada ya do'a seperti ini... he..he..ya iyalah. Empat puluh (40) rumah disekitar rumah kita adalah tetangga kita (al hadist), dikesempatan lain saya akan bahas mengenai tetangga-bertetangga. Saya tidak menyarankan mencari developer yang baik, tapi mencari lingkungan yang baik. Lingkungan yang baik menurut saya lebih mahal harganya, bahkan tak ternilai. 'Disebelah rumah saya dan belakang rumah, kaplingnya masih kosong, saya harus banyak baca do'a tadi ya...'. Kalau sulit mencari lingkungan yang baik, cari aja perumahannya bareng2 sama teman atau saudara. Atau kalau sudah terlanjur punya, ajak teman atau saudara. Sebab dikala susah, merekalah yang pertama kali akan kita minta tolong. Dalam kehidupan sosial kita kan tidak bisa terlepas dari yang namanya resource sharing, saling pinjam meminjam, utang piutang, dll. Kalau kita termasuk tipe orang yang tidak memprioritaskan masalah lingkungan ini, maka langsung loncat ke yang kedua (2).
2.Mencari lokasi yang berprospek.
Lokasi perumahan yang strategis, sudah tentu, harganya mahal, bahkan mungkin sangat mahal. Dan biasanya lokasi-lokasi tersebut penggaetnya pasti developer-developer besar. di kota-kota besar, mungkin sudah dijadikan apartmen. Makanya saya tidak menyebutkan lokasi yang strategis, tapi berprospek. Koran, majalah, televisi atau obrolan dengan orang lain ( terutama orang pemerintahan atau tata kota) adalah sumber pengetahuan kita. Dan sekarang jarang sekali perumahan di lokasi yang strategis (dekat dengan pusat kota) di kota-kota besar. Sebetulnya ada lokasi yang strategis, tapi biasanya komplek ini khusus, yaitu komplek perumahan pegawai. Biasanya tanahnya milik lembaga atau perusahaan tertentu. Di perumahan seperti ini, biasanya kita hanya bisa over kredit atau beli tanah dari pegawainya.
3.Mencari model2 rumah
Sekarang mungkin sedang model rumah minimalis, tapi rumah minimalis ini harus dikerjakan sama orang yang mahir, soalnya kan banyak ornamen garis, lurus, persegi. Kalau asal-asalan, bisa-bisa jadi 'minimalis maksa'. Memang Anda bisa berkreasi sendiri tapi apakah Anda punya cukup waktu. Dengan 'nyontek' model rumah orang lain mungkin kita bisa lebih save dan terbukti bagus, tentu yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah kita.
BERSAMBUNG . . .
"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", al hadist. Imam Ali Bin Abi Thalib pernah berkata,kurang lebih seperti ini, "Saya tidak bisa ditipu karena saya tahu ilmu menipu", beranjak dari sana sebelum kita membangun rumah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu, gimana sih bangun rumah ? apa aja sih yang perlu dipersiapkan? Nah.. berdasarkan pengalaman saya. Saya akan berbagi bagaimana persiapan bangun rumah.
1.Mencari lingkungan yang baik
ada doa yang kurang lebih bunyinya "Ya Allah jauhkanlah aku dari tetangga yang jahat", ada ya do'a seperti ini... he..he..ya iyalah. Empat puluh (40) rumah disekitar rumah kita adalah tetangga kita (al hadist), dikesempatan lain saya akan bahas mengenai tetangga-bertetangga. Saya tidak menyarankan mencari developer yang baik, tapi mencari lingkungan yang baik. Lingkungan yang baik menurut saya lebih mahal harganya, bahkan tak ternilai. 'Disebelah rumah saya dan belakang rumah, kaplingnya masih kosong, saya harus banyak baca do'a tadi ya...'. Kalau sulit mencari lingkungan yang baik, cari aja perumahannya bareng2 sama teman atau saudara. Atau kalau sudah terlanjur punya, ajak teman atau saudara. Sebab dikala susah, merekalah yang pertama kali akan kita minta tolong. Dalam kehidupan sosial kita kan tidak bisa terlepas dari yang namanya resource sharing, saling pinjam meminjam, utang piutang, dll. Kalau kita termasuk tipe orang yang tidak memprioritaskan masalah lingkungan ini, maka langsung loncat ke yang kedua (2).
2.Mencari lokasi yang berprospek.
Lokasi perumahan yang strategis, sudah tentu, harganya mahal, bahkan mungkin sangat mahal. Dan biasanya lokasi-lokasi tersebut penggaetnya pasti developer-developer besar. di kota-kota besar, mungkin sudah dijadikan apartmen. Makanya saya tidak menyebutkan lokasi yang strategis, tapi berprospek. Koran, majalah, televisi atau obrolan dengan orang lain ( terutama orang pemerintahan atau tata kota) adalah sumber pengetahuan kita. Dan sekarang jarang sekali perumahan di lokasi yang strategis (dekat dengan pusat kota) di kota-kota besar. Sebetulnya ada lokasi yang strategis, tapi biasanya komplek ini khusus, yaitu komplek perumahan pegawai. Biasanya tanahnya milik lembaga atau perusahaan tertentu. Di perumahan seperti ini, biasanya kita hanya bisa over kredit atau beli tanah dari pegawainya.
3.Mencari model2 rumah
Sekarang mungkin sedang model rumah minimalis, tapi rumah minimalis ini harus dikerjakan sama orang yang mahir, soalnya kan banyak ornamen garis, lurus, persegi. Kalau asal-asalan, bisa-bisa jadi 'minimalis maksa'. Memang Anda bisa berkreasi sendiri tapi apakah Anda punya cukup waktu. Dengan 'nyontek' model rumah orang lain mungkin kita bisa lebih save dan terbukti bagus, tentu yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah kita.
BERSAMBUNG . . .
Label:
membangun rumah,
persiapan,
tips,
tips bangun rumah
Senin, 01 Desember 2008
Tips Bangun Rumah 2 (Menghadapi Pemborong)
Wah ternyata bangun rumah itu perlu kesabaran dan ketelitian serta pendampingan oleh orang dekat yang berpengalaman. Jangan sampai kita iya-iya aja sama saran pemborong, jangan sampai kita setuju-setuju saja sama anggaran dan tambahan biaya yang diajukan pemborong.Kita harus teliti dan sabar, jangan sampai kita protes dengan nada marah-marah, tetap coolingdown. Ketelitian sangat kita perlukan ketika penyusunan RAB dan gambar. Sebab kedua inilah yang jadi acuan kita apabila ada penyelewengan wewenang oleh pihak pemborong.
Nah, setelah mulai peletakan batu pertama, jangan lupa, maksimal seminggu sekali kita tengok, kalau perlu kita ikut cek ukuran-ukurannya, sambil membawa RAB dan gambar bangunan, sekalian mengingatkan pemborong jangan sampai menyelewengkan amanahnya.Karena yang namanya membangun rumah, tidak sedikit uang yang kita keluarkan. Teliti sebelum membeli, itu mungkin pepatah yang harus kita camkan.
Dalam hal transfer uang, jangan sampai kita mentransfer uang sekaligus, walaupun uang tersebut sudah tersedia, tapi lihat, jadi apa uang yang telah kita transferkan, walaupun kita tahu, pemborong pun punya modal, bisa membangun walaupun kita transfernya belakangan.step by step dalam mentrasferkan uang.Keuntungannya adalah, ketika di tengah jalan terjadi apa-apa kalau uang kita kita sudah ditransfer semua atau sebagian besar, kan repot...., bila kita transferkan step by step, tentunya kita punya kartu As untuk mengembalikan pemborong kejalan yang benar, kalau memang pihak pemborong melalaikan amanahnya.
Jangan sungkan-sungkan untuk menyuruh mandor atau tukang yang sedang bekerja untuk menyempurnakan pekerjaannya, kalau perlu dibongkar ulang, kalau memang kesalahannya fatal, kalau mandornya tidak mendengarkan perintah kita langsung saja ke tukangnya atau kalau perlu telpon manajer developernya untuk mengintruksikan kepada mandor untuk membangun sesuai spek yang ada di RAB dan gambar.Kalau managernya tidak percaya, ajak dia datang untuk melihat kondisi yang terjadi di lapangan.
Memang, kalau kita cerewet, mandor dan tukangnya pasti kurang suka sama kita, mungkin ditunjukan ketika kita datang ke proyek, mereka membuang muka.Tapi jangan gentar, toh memang itu menjadi hak dan kewajiban kita untuk mengingatkan dan jangan lupa, kita kan tidak mau satu-dua tahun kemudian kita sering melakukan perbaikan, karena pekerjaan yang kurang baik, atau sejauh mata memandang diliputi ketidakpuasan dan dalam hati bergumam "kenapa pas dulu saya ngga ngingetin ini dan itu", akibatnya kita malas menempati rumah, kemudian kita ngontrak atau tetap tinggal bersama orang tua... wah...jangan sampai deh....
Ya sesekali ngasih makanan sama tukang yang sedang kerja untuk meredam kekurangsukaan mereka, tapi ingat jangan ngasih uang, itu kebiasaan yang kurang baik kayaknya...
Setelah bangunan sudah terlihat wujudnya,atau masuk dalam tahap finishing, disini, kadang di RAB atau di gambar tidak tercantum masalah variasi, jadi ketika kita mau begini dan begitu, yang sifatnya pemanis, kita harus nambah biaya atau agak sulit dipenuhi, karena tidak ada di RAB atau pas kesepakatan dulu tidak diutarakan, dalih dari pemborong. Kuncinya ketika di awal, ketika penyusunan RAB dan gambar kita harus mengutarakan pingin begini dan begitu.Karena begini dan begitu itu pasti ngelamain pembangunan, misalnya dinding pingin di ban, catnya tiap ruangan berbeda,keramiknya dibeda-bedain tiap ruangan,dll. Ini harus dikomunikasikan diawal dengan pihak pemborong, kalau perlu dicatat rapi dan ditandatangani oleh kita dan pihak pemborong.
Langganan:
Postingan (Atom)