JAKARTA(SINDO) — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) kemarin. Pengesahan berlangsung di
tengah aksi unjuk rasa mahasiswa yang bahkan sempat masuk ke ruang sidang.
Sebelum RUU disahkan,sekitar 20 mahasiswa dari Universitas Indonesia masuk ke ruang
sidang paripurna. Dari arah balkon para mahasiswa berteriak,” Interupsi
ketua.”Sidang sempat terhenti 10 menit ketika lebih dari 20 petugas keamanan dalam
Gedung DPR mendorong mahasiswa keluar.
Mahasiswa menolak keluar sambil terus berpegangan pada besi pembatas balkon. Selain
di dalam ruang sidang, aksi unjuk rasa mahasiswa juga terjadi di pintu gerbang depan
dan belakang Gedung DPR, Senayan, Jakarta.Ketua BEM UI Edwin Nafsa Naufal menuding
pengesahan RUU BHP sebagai tanda yang jelas bahwa para wakil rakyat telah
mengkhianati mahasiswa.
”Kami memang sempat diajak berdialog,tapi ketika itu deadlock dan belum ada
kesepakatan. Bahkan janji untuk mempertimbangkan pendapat kami tidak mereka
penuhi,’’ katanya. Hanif, salah satu mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang mengikuti aksi,menyatakan UU BHP dikhawatirkan mereduksi peran pemerintah
dalam pendanaan pendidikan.
”Proporsi pemerintah dan BHP belum eksplisit dalam pendanaan,” katanya. Sikap
keberatan terhadap RUU BHP yang sudah disahkan tidak hanya disuarakan
mahasiswa.Forum Rektor Indonesia mendesak DPR tidak terlalu memaksakan pengesahan
rancangan tersebut.
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid melihat ada beberapa substansi dalam
isi undangundang yang harus dihilangkan, misalnya kemungkinan terjadinya
komersialisasi pendidikan. Dia menambahkan, ketika pemodal asing menanamkan
sahamnya, diharapkan pemerintah tidak lepas tangan sehingga justru nantinya sebagian
besar saham pendidikan Indonesia dimiliki asing.
Selain itu dia juga berharap agar setelah rancangan ini disahkan tidak akan ada lagi
dikotomi dan diskriminasi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi
swasta (PTS). ”Soal pendanaan saja masih ada pembedaan,”tutur Edy,Rektor
Universitas Islam Indonesia.
Walau demikian, dia melihat isi undang-undang tersebut ada yang bermanfaat, seperti
mendorong kemandirian PTN/PTS serta terbukanya kompetisi perguruan tinggi. Majelis
Luhur Tamansiswa (MLT) juga dengan tegas menolak pengesahan RUU BHP menjadi
undangundang. Ketua III MKLT Ki Wuryadi mengatakan, undang-undang tersebut merupakan
persolan strategis dalam pendidikan nasional.
Karena itu perlu dibahas secara komprehensif dengan berbagai kajian. ”Apalagi
dalam undangundang tersebut ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak dijadikan dasar,
”tunjuknya. Undang-undang itu juga menghilangkan potensi dan mengabaikan ideologi
pendidikan nasional serta memberikan penetrasi kepentingan asing secara sistematis.
”Asing pun nantinya bisa menanamkan modalnya hingga 49%,”kata Wuryadi.
Pengesahan
Sidang pengesahan RUU BHP menjadi undangundang kemarin dipimpin Wakil Ketua DPR
Muhaimin Iskandar, diawali dengan pandangan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi.
”Sebenarnya RUU ini sudah baik, namun tidak bisa memuaskan semua orang. Peraturan
politik inilah hasil maksimal yang bisa dicapai,” kata Heri.
RUU ini disetujui oleh semua fraksi di DPR.Anggota Komisi X Anwar Arifi, mewakili
Fraksi Golkar, menyatakan otonomi dalam pendidikan formal hanya dapat dilakukan jika
pendidikan formal dapat mengelola dana secara mandiri. Fraksi Golkar menilai
undang-undang itu telah memberikan panduan yang jelas terkait tanggung jawab negara
dan tanggung jawab pengelola satuan pendidikan.
Undang-undang ini disebut Anwar juga sangat berpihak kepada peserta didik dan
menerapkan sanksi kepada satuan pendidikan yang tidak mengelola BHP sesuai
ketentuan. ”Sanksinya bisa sampai pencabutan izin operasi,” katanya. Anggota
Fraksi Amanat Nasional, Ade Firdaus, menyatakan fraksinya mendukung pengesahan
rancangan UU ini.
Namun, dia meminta pemerintah pusat dan daerah bersedia menanggung dua pertiga dari
biaya operasional pendidikan dalam implementasinya. Ketua Komisi X Irwan Prayitno
menyatakan tidak mengerti mengapa mahasiswa menolak pengesahan undang-undang ini.
”Kemarin saya sudah bertemu empat orang mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa
UI dan mereka terlihat mengerti,”katanya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal menyata-kan tindakan
mahasiswa merupakan bukti masyarakat berdemokrasi.
”Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Mereka terlihat mengerti,”
ujarnya. Fasli mengatakan, di tingkat pendidikan tinggi dan menengah pun peserta
didik hanya menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional. ”Dan biaya
operasional itu kan 80% adalah gaji, jadi saya pikir sudah kecil sekali biaya yang
akan mereka bayar,” katanya.
Fasli juga menilai RUU BHP tidak kurang sosialisasi.”Memang kadang-kadang bahasa
hukum tidak seterang ungkapan langsung sehari-hari,” katanya. Sementara itu,
sejumlah pakar pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan dan
organisasi guru berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas
pengesahan UU BHP.
Guru besar emeritus dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar menilai,
undang-undang ini merupakan salah satu agenda terselubung pemerintah untuk
melepaskan tanggung jawab dalam sektor pendidikan seperti yang tecermin dari
pelaksanaan badan hukum milik negara (BHMN) yang merupakan embrio BHP.
”Kenyataannya, perguruan tinggi dengan status BHMN tidak maksimal menjaring calon
mahasiswa kurang mampu, sekaligus memungut dana masyarakat secara berlebihan,
”katanya. Menurut Tilaar, meski dalam draf BHP ada kewajiban perguruan tinggi
menjaring mahasiswa kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan pendidikan bermutu,
implementasinya pasti tidak dilaksanakan.
”Ini hanya akal-akalan,”tudingnya. Dia mengatakan, BHP bukanlah hal penting
karena masih banyak masalah fundamental di bidang pendidikan yang seharusnya lebih
mendapatkan perhatian pemerintah. ”Aturan itu bisa saja bagus di atas kertas,
tetapi siapa yang akan melakukan kontrol jika aturan itu diterapkan?
Tanpa menghilangkan makna BHP bagi pemerintah, kita bisa katakan bahwa ada hal yang
lebih penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah,” kata Tilaar. Manajer Divisi
Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan
bahwa produk hukum UU BHP prematur.
Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik,
karena tidak pernah terwujud. ”Bahkan otonomi pendidikan dijadikan tameng untuk
memungut sebesar-besarnya dana masyarakat,”tuturnya.
Di tempat terpisah,Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB
PGRI) Sulistiyo mengemukakan organisasinya bisa memahami pengesahan UU BHP karena
sudah termaktub dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
” Itu (BHP) kan perintah UU Sisdiknas,”katanya. Namun, dalam waktu dekat PGRI
juga akan melakukan kajian mengenai pasal-pasal dan muatan yang terkandung dalam
produk hukum tersebut. ”Kami mengundang sejumlah pakar pendidikan untuk
menganalisis UU BHP. Setelah itu kami akan menentukan sikap. Bisa saja sikap kami
menolak,”katanya. (rendra hanggara/ nugroho purbohandoyo)
sumber ;http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197039/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar