Saturday, 20 December 2008
Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi.
Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU
tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras
untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan
kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai
pertanyaan-pertanyaan itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP.
Otonomi atau Liberalisasi?
Sejak awal disiapkan,RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang
muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang
Dasar 1945.
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi
(neoliberalisme)—atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi
pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU
BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing
mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi
untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak
negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan
penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya
adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan
terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum
milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi
memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.
Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan
bahwa pembiayaannya masih berpijakpadabiayaoperasionalpendidikan (BOP) yang dipungut
dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan,seperti aset PT BHMN
yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan pengembangan sumber penerimaan
lain dari ventura bisnis.
Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik
pengelola,dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi.
Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional
kepada peserta didik.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga
memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian
besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para
wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam
pembiayaan pendidikan oleh BHP.
Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang
kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara
dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/ pemerintah
daerah (BHPP dan BHPPD) merupakankekayaanpendiri (negara/pemerintah daerah) yang
dipisahkan (Pasal 37).
Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan
tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus
ditanamkan kembali ke dalamBHPuntuktujuanpeningkatan kualitas pendidikan.Khusus
untuk pendanaanpendidikanbagiBHPPdan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah
menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling
sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan
BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga
mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan
pendidikan,kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal
40),dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta
didik.
Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah
berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat.
Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan
bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan
sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk
BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan
pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan
besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan
pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan
pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.
Menuju Implementasi UU BHP
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU
BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi
penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap
pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP
tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak
masyarakat—termasuk golongan tidak mampu—untuk menikmati pendidikan.
Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh
menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan
knowledge sharingdan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP,
sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang
dan dihilangkan.
Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan
transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah
kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2
biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum
termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.
Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM.
Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua,maka kekhawatiran
sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang
cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas
sistem birokrasi negara.
Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin
proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi
dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis
menghimbau,mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang
sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(*) *) Tulisan ini merupakan pendapat
pribadi
Eko Prasojo
Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI
sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/197560/
Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar