Selasa, 23 Desember 2008

Pengesahan Undang-Undang BHP

Friday, 19 December 2008
Salah satu perkembangan mutakhir pendidikan Indonesia adalah pengesahan Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) (17/12/2008) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan
sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa
khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh
Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba,
akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh
ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk
membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul
kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk
undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk
lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan
mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok
histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa
membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada
satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas
intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi
jika mampu memberi imbalan tertentu.

Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan
Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas
pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.

Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis
(UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom.
Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang
menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan.
Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk
memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen
Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim
penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan
BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ
representasi pemangku kepentingan.

UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak
1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini
satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai
sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya
operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang
banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi.

UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi
tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana
sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang
memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari
keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada
publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau
bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi akademiki tinggi.

Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam
menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan
bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP
menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP
yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D
dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan
dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini.

Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hokum untuk melakuka
tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan
“ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal
yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha
dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan pendidikan.


sumber :http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=242&Itemid=54

Ditulis oleh Irwandi

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar