Selasa, 23 Desember 2008

Guru Se-Jabar Tolak UU BHP

BANDUNG, (PR).-
Para guru se-Jawa Barat sepakat menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) yang baru saja disahkan DPR. Mereka juga akan meminta dilakukan pengujian
materiil (judicial review) terhadap undang-undang tersebut. Pernyataan sikap
tersebut akan difasilitasi Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).

"Masih ada waktu 120 hari masa transisi untuk undang-undang yang baru disahkan, hal
ini dimaksudkan untuk mendengarkan respons dari masyarakat. Kami akan memanfaatkan
masa transisi ini agar DPR mau meninjau kembali keputusan mereka," kata Ketua UKSK
UPI Amran Halim di kampus UPI Jln. Setiabudhi, Bandung, Kamis (18/12).

Amran mengemukakan, jika upaya judicial review tidak berhasil, langkah yang akan
diambil selanjutnya adalah berunjuk rasa atau melakukan propaganda melalui media
massa.

Apabila upaya itu gagal, Amran menegaskan, UKSK dan jaringan guru se-Jabar akan
memperkuat ikatan untuk mengawasi dan mengevaluasi implementasi UU BHP, guna
mengantisipasi dampak buruknya.

UKSK dan para guru memandang UU BHP menjadi gerbang yang akan menghanyutkan
nilai-nilai murni pendidikan. Mereka khawatir, kelak akan terjadi transaksi nilai
atau komersialisasi pendidikan.

"Siapa yang punya duit, bisa mengecap pendidikan. Disahkannya RUU BHP bertentangan
dengan iktikad pemerintah untuk menggratiskan pendidikan atau menyediakan pendidikan
yang terjangkau tapi berkualitas," kata Amran.

Sementara itu, praktisi pendidikan Universitas Negeri Jakarta Muchlis R. Luddin
mengatakan, meski tujuan UU BHP tersebut baik, banyak ketentuan yang pada
pelaksanaannya justru menjebak. Termasuk di antaranya ketentuan tanggung jawab
pembiayaan antara pemerintah dan masyarakat.

"Subsidi yang selama ini diberikan rata kepada semua mahasiswa di PTN akan hilang.
Jadi, di sini sebenarnya pemerintah seolah mau melepas tanggung jawabnya," tuturnya.

Menurut mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Malaysia tersebut, yang
harus diwaspadai dari UU BHP ini adalah dampak jangka panjang yang akan terjadi.
Sebab, pada saat lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi tidak mampu memperoleh
dana hibah dari pemerintah, mereka akan membebankan sepenuhnya biaya pendidikan
kepada peserta didik, karena itu jalan termudah.

"Ke depan, yang kuliah di perguruan tinggi terbaik seperti Unpad, ITB, dan UI
mungkin hanya masyarakat menengah ke atas. Mereka yang tidak mampu tidak akan
sanggup lagi mengenyam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi pun lebih memilih menjual
kursi melalui jalur khusus daripada membuka lebar jalur seleksi nasional untuk bisa
bertahan. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang tidak mampu bertahan dengan
sendirinya akan hilang, termasuk lembaga pendidikan gurem yang selama ini sulit
untuk ditertibkan," ungkapnya.

Swasta tak dibahas

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jabar dan Banten sekaligus
Rektor Universitas Pasundan, Prof. Didi Turmudzi, mendesak segera dibuat peraturan
pemerintah (PP) untuk mencari jalan keluar dari kekosongan yang ada pada UU BHP.

Dia mengatakan, perguruan tinggi swasta sudah diposisikan untuk tidak bisa
berkembang dan bersaing dengan perguruan tinggi negeri karena tidak ada satu pasal
pun yang terkait dengan pembiayaan perguruan tinggi swasta di UU BHP.

"BHP itu merangsang setiap perguruan tinggi untuk menyerap dana yang besar dari
masyarakat dan ini menyebabkan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi bagi
kalangan ekonomi lemah menjadi semakin kecil," katanya.

Rektor Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin) Rully Indrawan juga menganggap
perlu segera dibuat PP BHP. Namun, menurut dia, permasalahannya adalah Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang dibuat tahun 2003 sampai saat ini belum dibuat
PP-nya.

Menurut Rully, sebenarnya ada pihak yang secara tidak langsung dirugikan dalam
penyelenggaraan UU BHP tersebut, yaitu yayasan perguruan tinggi swasta. Dia
menuturkan, yayasan tersebut sebelumnya berperan untuk menyediakan dana bagi
penyelenggaraan pendidikan.

Namun, saat ini yayasan harus menyerahkan manajemen perguruan tinggi kepada Majelis
Wali Amanah yang terdiri atas unsur lain seperti rektor. Hal itu juga berlakukan
pada aset perguruan tinggi yang sebelumnya dipegang yayasan menjadi milik BHP.
"Padahal, merekalah yang sebelumnya mendirikan perguruan tinggi tersebut," ucapnya.

Sementara itu, dalam seminar "BHP Sebagai Solusi Pendidikan Indonesia atau Bukan?"
yang digagas Keluarga Mahasiswa (KM) ITB diungkap empat poin penting dalam UU BHP
yang perlu ditinjau ulang. Pertama, reduksi peranan pemerintah dalam pendanaan BHP.
Terdapat ketidakjelasan besaran proporsi pemerintah dan institusi pendidikan dalam
menanggung biaya pendidikan.

Kedua, otonomisasi kurikulum yang tidak jelas dalam UU BHP. Ketiga, superioritas
pada organ representasi pemangku kepentingan. BHP menempatkan organ representasi
kepentingan sebagai organ tertinggi yang memiliki akses dan kewenangan yang penuh.

Keempat, analogi BHP dengan perusahaan. "Bentuk BHP ini memungkinkan suatu institusi
pendidikan mengalami pembubaran manakala terjadi pailit," kata anggota Kajian
Strategis KM ITB Yuniarti di depan peserta seminar.

Yuniarti menyatakan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan karena institusi pendidikan
tidak boleh tutup. Sebab, pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas
SDM bangsa dan berpengaruh terhadap kemajuan bangsa.

Bertahap

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bidang pendidikan, agama, dan kesehatan, Prof.
Dr. H. M. Surya mengemukakan, UU BHP bisa memunculkan komersialisasi pendidikan.
Untuk itu, perlu aturan lebih tegas dalam PP yang bisa menekan komersialisasi
pendidikan.

"Dalam UU BHP salah satunya disebutkan lembaga pendidikan masih bisa memungut dana
dari masyarakat yakni sepertiga dari biaya penyelenggaraan pendidikan. Ini bisa
menjadi jalan bagi lembaga pendidikan untuk memungut dana yang nantinya memberatkan
masyarakat," kata Surya di sela-sela kunjungan kerjanya ke RSUD Al Ihsan Baleendah,
Kab. Bandung, Kamis (18/12).

Menurut Surya, hadirnya UU BHP untuk lebih menertibkan lembaga pendidikan yang
meliputi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. "Untuk sementara waktu, kami
berharap agar UU BHP berlaku dulu di pendidikan tinggi, karena fokus pendidikan
dasar pada pencapaian wajib pendidikan 9 tahun," ucapnya.

Untuk menghindari pro dan kontra yang makin tajam, Surya yang juga guru besar UPI
Bandung, mengusulkan agar pemerintah memberlakukan UU BHP secara bertahap. "Jangan
main kemplang, semua lembaga pendidikan harus menerapkan UU BHP. Perlu waktu dan
kesabaran," ujarnya. (A-71/A-157/A-184/A-185/A-187)****


sumber :http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48922

Tulisan ini merupakan email dari millis DIKTI seputar perkembangan berita mengenai UU BHP yang sengaja saya muat di blog ini untuk melihat respon interaktif dari masyarakat, khususnya masyarakat blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar